Aksi Massa
Tan Malaka (1926)
PENGANTAR PENULIS
Alles was besteht ist
wert,
dass es zu Gruende geht.
(Mephistopheles)
Asia sudah bangun!
Lambat laun bangsa-bangsa Asia yang terkungkung itu tentu akan memperoleh
kebebasan dan kemerdekaan. Tetapi tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan
bilamana dan dimana bendera kemerdekaan yang pertama akan berkibar. Siapa yang
menyelidiki sedalam-dalamnya perekonomian Timur, politik dan sosiologi akan dapat
menunjukkan halkah rantai yang selemah-lemahnya dalam rentengan rantai panjang
yang mengikat perbudakan Timur. Indonesialah halkah rantai yang lemah itu. Di
Indonesia benteng imperialisme Barat yang pertama dapat ditempur dengan
berhasil.
Imperialisme Belanda lebih tua dan lebih kuno dari pada imperialisme Inggris
dan Amerika, dipisahkan oleh satu lembah yang tak dapat diseberangi dari
jajahannya. Negeri Belanda, karena tidak mempunyai bahan-bahan untuk
industrinya, dari dahulu hanya mengusahakan pertanian dan perdagangan.
Penjabaran kapitalnya dari permulaan abad ini ke seluruh Indonesia sangat
luasnya.
Pusat industri Belanda sekarang terletak di Indonesia, sedang pusat
perdagangan dan keuangannya ada di negeri Belanda. Bankir, industrialis dan
saudagar tinggal di negeri Belanda, sedang buruh dan tani di Indonesia. Jika
kita perhatikan kedua lautan yang memisahkan Belanda dengan Indonesia itu,
serta tidak pula kita lupakan perbedaan bangsa, agama, bahasa, adat-istiadat
antara penjajah dan si terjajah, antara pemeras dan si terperas, tampaklah
kepada kita satu perbandingan dari pergaulan yang luar biasa di dunia
imperialisme waktu sekarang. Luar biasa, sebab kaum modal bumiputra tak ada.
Jadi, titian antara negeri Belanda dengan Indonesia putus sama sekali.
Ketiadaan kaum modal bumiputra yang sifatnya hampir bersamaan dengan
imperialisme Belanda (samasama mau menggencet buruh dan tani) menyebabkan imperialisme
Belanda sukar sekali membereskan krisis ekonomi di Indonesia. Dimanakah ada di
Indonesia tuan-tuan tanah bumiputra seperti di Mesir, India dan Filipina yang
dapat menunjang kaum imperialisme untuk membela kepentingan-kepentingan ekonomi
mereka? Dan dimanakah ada kaum modal bumiputra yang kuat, yang meminta-minta
kekuasaan dalam politik perekonomian‑nya seperti di India?
Tuan-tuan tanah Indonesia yang sedikit berarti telah lama menjadi gembala,
kuli atau kuli tinta! Bangsa-bangsa Eropa, Tionghoa dan dan Arab menguasai
semua perdagangan besar, menengah ataupun kecil! Bangsa Indonesia yang
menengah atau yang kecil telah lenyap dari Pulau Jawa sejak beberapa tahun yang
silam oleh pemasukan barang-barang pabrik dari Eropa.
Soal perguruan dengan sengaja dilengahkan oleh Belanda, kaum intelektual
jadi kurang. Sebab itu, kendatipun kaum saudagar bumiputra seperti India, mau
menyokong mereka mendirikan industri, toh tidak akan berhasil.
Sebab ketiadaan kaum modal tuan tanah bumiputra itu, maka setiap aksi
parlementer dari partai nasional mana pun tidak berguna.
Bagaimanakah "bapak gula" dan "nenek minyak" di negeri
Belanda akan dapat memberikan hak pemilihan umum kepada bangsa Indonesia? Atau
dengan lain arti: mempercayakan kekuasaan politik kepada wakil-wakil tani dan
buruh yang miskin? Jika sekiranya di belakang kaum intelektual, berdiri
tuan-tuan tanah dan kaum modal bumiputra yang akan mereka wakili di parlemen,
tentulah akan berlainan keadaan itu. Dan cakap angin tentang "perubahan
dalam pemerintahan di Indonesia" ada juga artinya sedikit. Imperialis
Belanda berangsur-angsur, lambat laun dapat menyerahkan pemerintahan itu kepada
bangsa Indonesia yang cakap dan jujur. Bukankah melindungi modal bumiputra,
sebagian juga berarti melindungi modal bangsa asing? Di dalam nisbah sekarang
ini nyatalah bahwa flap pemerintahan bangsa Indonesia haruslah tunduk kepada
kemauan modal asing yang besar-besar. Dan pemerintahan seperti itu tak akan
diakui sebagai berasal dari rakyat dan oleh rakyat!
Pendeknya, Indonesia tak mempunyai faktor-faktor ekonomi, sosial ataupun
intelektual buat melepaskan diri dari perbudakan ekonomi dan politik di dalam
lingkungan imperialisme Belanda. Bersamaan dengan itu, kans untuk mencapai
kemerdekaan dalam arti yang seluas-luasnya dengan jalan menguasai setengah,
tiga perempat, hingga tujuh per delapan parlemen lenyap buat selamanya. Impian
seorang makhluk seperti Notosuroto yang mengangan-angankan Nederlandia Raja
akan tetap jadi lamunan orang yang fasik.
Indonesia dapat menaikkan ekonominya jika kekuasaan politik ada di tangan
rakyat. Dan Indonesia akan mendapat kekuasaan politik tidak dengan jalan apa
pun, kecuali dengan aksi politik yang revolusioner lagi teratur, dan yang tidak
mau tunduk.
Dewan Rakyat kadang-kadang boleh dimasuki! Tetapi bukan dipergunakan
sebagai senjata yang sah untuk memperoleh pemerintahan nasional yang
bertanggung jawab penuh dengan perantaraan Dewan Rakyat bekerja sama dengan
imperialis Belanda. Tetapi guna mengembangkan usaha revolusioner hingga ke
dalam kamar-kamar diperoleh dengan perantaraan aksi-aksi parlementer samalah
dengan seseorang di Gurun Sahara yang membum fatamorgana. Tetapi siapa yang mempergunakan
sekalian pengetahuannya untuk aksi massa yang teratur, niscaya memperoleh
kemenangan itu seumpama "ayam pulang ke kandangnya".
Soal kemerdekaan Indonesia bukanlah satu soal yang terbatas di Indonesia
saja, yang dapat dipecahkan dengan perantaraan kongres dan putusan-putusan yang
lembek di Dewan Rakyat, jangan dikata lagi dengan perantaraan kelakar-kelakar
ekonomi dan kebudayaan di warung kopi. Soal itu mempunyai hubungan yang sangat
rapat dengan kekuasaan Barat terhadap bangsa berwarna di benua Timur.
Salah satu sebab — dan ini bukan sebab yang terkecil — mengapa Amerika
tidak juga memberikan kemerdekaan yang seluas-luasnya kepada orang Indonesia
Utara (Filipina) yang menurut perkataan kawan ataupun lawannya telah lama
matang (seperti kata surat-surat kabar imperialisme Amerika di Manila) adalah
bahwa kemerdekaan Filipina berarti satu pemberontakan dan penyembelihan di
Asia melawan kekuasaan kulit putih (a general revolt in Asiatic countries
against white authority, uprising being attended by slaughter). Kelepasan
Indonesia (pusat arti ilmu bumi dan peperangan Asia, penduduk lima kali lebih
besar dari Filipina dan dengan perdagangan internasional) mustahil tidak
berarti sebagai satu pistol yang ditujukan kepada kekuasaan Barat terutama Inggris
di Asia.
Belum lama ini bekas putra mahkota Wilhelm menerangkan kepada seorang
wakil dari United Press di Locarno yang diumumkan oleh radio ke seluruh dunia,
bahwa bila manusia yang berjuta-juta di Asia pada satu hari bergerak memukul
Anglosakson (Inggris, Prancis dan Belanda) niscaya bangsa Melayulah yang
pertama kali akan menyebabkan kesusahan. Pengharapan imperialistis dan sindiran
macam apakah yang dimaksud putra mahkota yang senewen itu, bagi kita tetap
nyata: bahwa Indonesia sekarang bukan Indonesia pada beberapa tahun yang lalu.
Indonesia telah mengambil tempat yang penting dalam barisan berjuta-juta
manusia di Asia.
Karena itu, kemenangan yang diperoleh dengan jalan damai dan parlementer
sama sekali tak boleh dipikirkan. Bukankah hal serupa itu tepat mengganggu
ketentraman kapitalis di Timur? Bila suatu hari Indonesia terlepas dan
mempertahankan kemerdekaannya dari musuh-musuh dalam dan luar negeri, tentulah
hal tersebut ditentukan oleh kodrat revolusioner, yakni yang disebabkan oleh aksi
massa: dari massa dan untuk massa.
Kalau penjajahan Belanda selama 300 tahun itu tidak berupa perampokan
(membunuh habis industri bumiputra) niscaya derajat kaum intelektual kita jauh
berbeda dari keadaan sekarang! Dan kita tentulah mempunyai semangat kecerdasan
(inteligensia) yang menurut asal, didikan dan perasaan menjadi pemuka dari
tuan-tuan tanah, industri, saudagar dan pegawai bumiputra. Pun juga akan
timbul pergerakan demokrasi dan kemerdekaan nasional yang bersifat kerja sama
(kompromis) dengan bangsa Belanda atas pertolongan buruh dan tani seperti di
India, Mesir dan Filipina lebih kurang.
Atas ketiadaan kaum modal bumiputra, intelegensia kita tak kuat berdiri. Ia
melayang-layang di antara rakyat dengan pemerintah. Ia tidak mempunyai perasaan
ingin mengorbankan diri seperti yang ditunjukkan nasionalis di negeri-negeri
lain. Ia tidak mempunyai alat-alat perasaan, pemikiran yang mendekatkan
dirinya kepada massa (rakyat murba). Disebabkan imperialis, kaum intelektual
kita jauh dari massa.
Mereka tidak mempunyai satu kesaktian yang dapat mempengaruhi dan menarik
hati rakyat. Kaum intelektual kita tidak beroleh kepercayaan dan simpati massa
untuk menggerakkan mereka, membuat aksi-aksi serta memimpin mereka. Tambahan
lagi, sebab jumlah kaum terpelajar yang tidak seberapa, mereka masih tinggal di
dalam kelas mereka dan belum menjadi buruh terpelajar.
Untuk sementara waktu, dapatlah mereka menonton dari jauh. Lain halnya kalau
jumlah mereka banyak, tentulah mereka akan luntang-lantung dan merasakan kemelaratan
sebagai buruh industri dengan penuh "kegembiraan" dalam medan
perjuangan.
Kecepatan timbulnya kelas intelektual, kekecewaan terhadap Budi Utomo
(B.U.) dan National Indische Party (N.I.P.) serta kekejaman reaksi, mencakar
pemandangan mereka ke jurusan yang lain. Sungguhpun masih sangat lambat dan
masih berdiri beberapa pal (1 pal = 1.5 kilometer) jauhnya dari massa serta
dalam keaktifan dan politik terjejer sangat jauh di belakang dibandingkan
dengan kelas mereka di lain koloni, tetapi mereka telah mulai bangun dari
tidur. "Jubah malaikat" dari Notosoeroto telah dilemparkan mereka,
dan mulai bersetuju kepada aksi-aksi revolusioner. Sekarang dari beberapa
universitas di negeri Belanda yang jauh itu berdengung-dengung suara mereka
hingga kedengaran oleh kaum intelektual yang ada di Indonesia.
Tetapi harapan buruh dan tani di Indonesia tidak cuma persetujuan hati saja
dari intelektual itu. Mereka menghendaki perbuatan atau bukti-bukti.
Selama kaum terpelajar kita melihat bahwa perjuangan kemerdekaan sebagai
masalah akademi saja, selama itulah perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu
kosong belaka. Biarlah mereka melangkah keluar dari kamar belajar menyeburkan
diri ke dalam politik revolusioner yang aktif.
Gelombang pemogokan, pemboikotan dan demonstrasi yang beralun-alun setiap
hari bertambah besar, melalui rapat nasional menuju ke Federasi Republik
Indonesia, inilah jalan mereka, tidak lain!
I
REVOLUSI
Revolusi
itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas
perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari
seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju
kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri. Sebuah revolusi
disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan
masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamis, dia adalah akibat tertentu dan
tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam.
Ketajaman pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu ditentukan oleh
pelbagai macam faktor: ekonomi, sosial, politik, dan psikologis. Semakin besar
kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain
pihak. Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas
yang diperintah semakin besarlah hantu revolusi. Tujuan sebuah revolusi ialah
menentukan kelas mana yang akan memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi,
dan revolusi itu dijalankan dengan "kekerasan".
Di
atas bangkai yang lama berdirilah satu kekuasaan baru yang menang. Demikianlah,
masyarakat feodal didorong oleh masyarakat kapitalistis dan yang disebut lebih
akhir ini sekarang berjuang mati-matian dengan masyarakat buruh yang bertujuan
mencapai "satu masyarakat komunis yang tidak mempunyai kelas", lain
halnya jika semua manusia yang ada sekarang musnah sama sekali tentulah terjadi
proses : werden undvergehen,
yakni perjuangan kelas terus-menerus hingga tercapai pergaulan hidup yang tidak
mengenal kelas (menurut paham Karl Marx).
Di
zaman purba waktu ilmu (wetenschap)
masih muda, semua perjuangan dalam kegelapan (kelas-kelas) diterangi
(dibereskan) oleh agama yang bermacam-macam; perjuangan golongan menyerupai
keagamaan, umpamanya pertentangan Brahmanisme dan Budhisme, Ahriman, Zoroastria
dengan Ormus (terang dengan gelap), Mosaisme dengan Israilisme, kemudian
Katholisme dengan Protestanisme. Akan tetapi, pada hakikatnya semuanya itu
adalah perjuangan kelas untuk kekuasaan ekonomi dan politik.
Kemudian
sesudah ilmu dan percobaan menjadi lebih sempurna, sesudah manusia melemparkan
sebagian atau semua "kepicikan otak" (dogma), setelah manusia menjadi
cerdas dan dapat memikirkan soal pergaulan hidup, pertentangan kelas disendikan
kepada pengetahuan yang nyata. Dalam perjuangan untuk keadilan dan politik,
manusia tidak membutuhkan atau mencari-cari Tuhan lagi, atau ayat-ayat kitab
agama, tetapi langsung menuju sebab musabab nyata yang merusakkan atau
memperbaiki kehidupannya. Di seputar ini sajalah pikiran orang berkutat dan ia
dinamakan cita-cita pemerintahan negeri. Kepada masalah itulah segenap
keaktifan politik ditujukan.
Tatkala
kehidupan masih sangat sederhana dan terutama tergantung kepada pekerjaan
tangan dan pertanian, pendeknya di zaman feodal, seorang yang mempunyai darah
raja-raja, biarpun bodohnya seperti kerbau, "boleh menaiki singgasana
dengan pertolongan pendeta dan bangsawan", menguasai nasib berjuta-juta
manusia.
Cara
pemerintahan serupa itu menjadi sangat sempit tatkala teknik lebih maju dan
feodalisme yang sudah bobrok itu pun merintangi kemajuan industri. Kelas baru,
yaitu "borjuasi" yang menguasai cara penghasilan model baru
(kapitalisme), merasa tak senang sebab ketiadaan hak-hak politik. Mereka
meminta supaya pemerintahan diserahkan kepada mereka yang lebih cakap dan
pemerintah boleh "diangkat" atau "diturunkan" oleh rakyat.
Cita-cita politik borjuasi adalah demokrasi dan parlementarisme. Ia menuntut
penghapusan sekalian hak-hak feodal dan juga menuntut penetapan sistem
penghasilan dan pembagian (distribusi yang kapitalistis).
Tatkala
raja dan para pendetanya tetap mempertahankan hak-haknya hancurlah mereka dalam
nyala revolusi. "Revolusi borjuasi" tahun 1789 sebagai buah
pertentangan yang tak mengenal lelah antara feodalisme dengan kapitalisme
menjadikan negeri Prancis sebagai pelopor sekian banyak revolusi yang kemudian
berturut-turut pecah di seluruh Eropa.
Nasib
raja Prancis (yang digulingkan) diderita juga oleh raja Rusia yang mencoba-coba
mengungkung borjuasi dan buruh dengan perantaraan kesaktian takhayul dan
kekerasan di dalam sekapan feodalisme yang lapuk itu.
Cita-cita
revolusioner berjalan terus tanpa mengindahkan adanya pukulan, peluru dan
siksaan yang tak terlukiskan walaupun dengan pena pujangga Dostoyevsky. Di
dalam gua-gua yang gelap, di dalam tambang-tambang di Siberia, di dalam penjara
yang mesum, dingin dan sempit itu, angan-angan dan kemauan revolusioner
memperoleh pelajaran yang tak ternilai. Kerajaan, gereja dan Duma (parlemen di
Rusia) dalam waktu yang singkat habis disapu oleh gelombang revolusioner yang
tak terbendung. Dalam revolusi buruh bulan November 1917 kelihatan bahwa kelas
buruh mempunyai kekuatan dan kemauan yang melebihi borjuasi.
Raja
Inggris, George III, yang tak mengindahkan riwayat negerinya sendiri menyangka
bahwa armada yang kuat dan kebesaran kekayaannya dapat merintangi tumbuhnya
kesosialan. Bangsa Amerika Utara dengan tak mengindahkan jumlahnya yang kecil,
kurangnya pengalaman dalam soal penerangan, uang dan lain-lain alat material,
dapat mencapai kemerdekaannya sesudah mengadakan perlawanan habis-habisan yang
tak kenal lelah itu.
Baru
setelah kungkungan ekonomi dan politik berhasil diputuskan dari imperialisme
Inggris, dapatlah Amerika Utara melangkah menuju kekayaan kekuasaan dan
kebudayaan yang sungguh tiada dua dalam riwayatnya.
Seandainya
ia belum dua kali menceburkan diri kedalam revolusi (pada tahun 1860), Amerika
Utara tak akan dikenal dunia selain sebagai Australia dan Kanada.
Revolusi
sosial bukanlah semata-mata terbatas di Eropa saja, tetapi merupakan kejadian
umum yang tidak bergantung kepada negeri dan bangsa. Tidakkah Jepang 60 tahun
yang lalu (1868) menghancurkan sekalian hak-hak feodal dengan perantaraan
revolusi? Sesudah kejadian itu, lenyaplah Kerajaan Matahari Terbit.
Pendeknya
dengan jalan revolusi dan perang kemerdekaan nasionallah (yang dapat dimasukkan
dalam revolusi sosial!), maka sekalian negeri besar dan modern tanpa kecuali,
melepaskan diri dari kungkungan kelas dan penjajahan.
Revolusi
bukan saja menghukum sekalian perbuatan ganas, menentang kecurangan dan
kelaliman, tetapi juga mencapai segenap perbaikan dari kecelaan.
Di
dalam masa revolusilah tercapai puncak kekuatan moral, terlahir kecerdasan
pikiran dan teraih segenap kemampuan untuk mendirikan masyarakat baru.
Satu
kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot
serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak
abadi.
Revolusi
adalah mencipta!
II
IKHTISAR TENTANG
RIWAYAT INDONESIA
1. Pengaruh Luar
Negeri
Riwayat
Indonesia tak mudah dibaca, apalagi dituliskan. Riwayat negeri kita penuh
dengan kesaktian, dongengan-dongengan, karangan-karangan dan pertentangan. Tak
ada seorang jua ahli riwayat dari Kerajaan Majapahit atau Mataram yang
mempunyai persamaan dengan ahli riwayat bangsa Roma kira-kira di zaman 1400
tahun yang silam, seperti Tacitus dan Caesar. Kita terpaksa mengakui bahwa kita
tak pernah mengenal ahli riwayat yang jujur.
Paling
banter kita cuma mempunyai tukang-tukang dongeng, penjilat-penjilat raja yang
menceritakan pelbagai macam keindahan dan kegemilangan supaya tertarik hati si
pendengar.
Tetapi
meskipun demikian ada jugalah batas dari karangan-karangan dan putar-memutar
kejadian yang sesungguhnya. Tak usah terlampau jauh kita langkahi batas itu,
niscaya berjumpalah dengan intisari yang sebenarnya. Demikian jugalah dengan
riwayat-riwayat negeri kita. Di antara kekusutan-kekusutan dalam karangan itu,
terbayanglah kebenaran, tampaklah Kepulauan Indonesia, kerajaan-kerajaan dan
kota-kotanya yang berdiri dan kemudian runtuh, laskar yang berderap-derap,
berperang, kalah dan menang, kekayaan, kesentosaan, dan pasang-surut kebudayaan
dan seterusnya. Tak dapat dipungkiri bahwa di Malaka, Sumatera dan Jawa berdiri
negeri-negeri yang besar. Di Borneo Tengah pun ada satu kerajaan yang agaknya
tak seberapa kurangnya dari Kerajaan Majapahit. Di sana berdiri kota-kota yang
besar penuh dengan gedung dan perhiasan yang indah-indah, sebagaimana yang
dibuktikan oleh barang-barang yang dijumpai di dalam tanah hingga waktu
sekarang.
Dapat
pula dipastikan, bahwa Indonesia belum pernah melangkah keluar dari masyarakat
feodalisme, dan bahwa ia jauh tercecer dari feodalisme di Eropa. Bangsa Yunani
jauh lebih tinggi dari bangsa Indonesia — dalam hal ini Majapahit bila kerajaan
ini dianggap sebagai tingkatan yang setinggi-tingginya — dalam hal pemerintahan
negeri, politik, ilmu hukum dan kebudayaan. Ya, rakyat Majapahit sebenarnya tak
pernah mengenal cita-cita pemerintahan negeri. Berabad-abad pemerintahan itu
bukan untuk dan milik rakyat. Perkataan: "Bagi Tuankulah, ya, Junjunganku,
kemerdekaan, kepunyaan dan nyawa patik," pernah dan berulang-ulang
diucapkan rakyat Indonesia terhadap raja-rajanya!! Di sana tak ada Orachus,
Magna Charta dan tak ada pengetahuan yang diselidiki dengan betul-betul seperti
yang dipergunakan Aristoteles, Pythagoras dan Photomeus. Pengetahuan mendirikan
gedung-gedung dan ilmu obat-obatan kita masih dalam tingkatan percobaan.
Keajaiban Borobudur kita tak seajaib segitiga Pythagoras, sebab yang pertama
berarti jalan mati, sedang yang kedua menuntun manusia menuju pelbagai macam
pengetahuan. Di manapun tak ada jejak (bekas-bekas) pengetahuan serta puncak
kecerdasan pikiran!
Biarlah,
tak usah kita ceritakan ilmu kebatinan Timur! Hal ini ada di luar batas
pikiran; tambahan lagi bangsa Barat di Zaman Kegelapan (Abad Pertengahan) pun
sudah mengenal itu. Lagi pula, kebatinan tidaklah bersandarkan kepada kebenaran
sedikit jua, bahwa masyarakat kita senantiasa memperoleh dari luar dan tak
pernah mempunyai cita-cita sendiri. Agama Hindu, Budha dan Islam adalah
barang-barang impor, bukan keluaran negeri sendiri.
Selain
itu, cita-cita ini tak begitu subur tumbuhnya seperti ke-Kristen-an di Eropa
Barat. Mesin penggerak segenap pemasukan agama Hindu, Budha dan Islam sampai
kepada masa kedatangan kapitalisme Belanda, serta semua perang saudara di waktu
itu adalah berada di luar negeri. Indonesia adalah wayangnya senantiasa, dan
luar negeri dalangnya.
2. Bangsa Indonesia
yang Asli
Di
zaman dahulu, tatkala bangsa Indonesia asli didesak oleh bangsa Tionghoa dan
Hindu ke luar negerinya — Hindia-Belakang — dan melarikan diri ke Nusantara
Indonesia, mereka telah mempunyai suatu peradaban. Pak tani di zaman itu
menjelma menjadi bajak laut yang sangat buas dan ditakuti orang. Dengan Vintas
(semacam perahu) kecilnya, mereka mengarungi seluruh kepulauan antara dua
lautan besar, antara Amerika dan Afrika. Penduduk asli dari India dan Oceania
ditaklukannya. Rimba raya hingga puncak gunung dijadikannya huma. Rumah yang
bagus-bagus didirikannya, permainan dan pengetahuan dimajukannya. Tatkala
bangsa Barat dan Timur menyembah kepada pedang Jengis Khan dan Timurleng serta
lari ketakutan, waktu itu mereka bukan saja menentang, tetapi dapat pula
mengundurkan laskar Mongolia. Bajak laut bernama Pakodato dari Kerajaan
Singapura di Semenanjung Tanah Melayu pada tahun 500 dapat menggeletarkan
Kerajaan Tiongkok dan Hindustan dengan angkatan armada serta pedangnya.
3. Pengaruh Hindu
Agaknya
hawa tropika di lingkungan katulistiwalah, yang terutama menyebabkan teknik
kita tak maju. Hawa yang subur dan melemahkan itu, serta sedikitnya penduduk,
menjadikan kaum tani yang senang hidupnya itu, tinggal diam dan menerima,
sedangkan kepulauan yang sangat banyak itu menarik hati penduduk di
pantai-pantai, kepada perantauan dan pengalaman. Menurut riwayat dapat
diketahui bahwa, sesudah dibawa pengaruh Hindu, kebudayaan mereka bertambah
naik dan mereka mulai berkenalan dengan perampas. Kejadian itu berlangsung
sesudah bangsa kita bercampur darah dengan penjajah-penjajah bangsa Hindu. Kini
terbayanglah dalam benak kita kejadian-kejadian yang dapat digambarkan oleh
kejadian-kejadian itu, yang membangkitkan tenaga terpendam itu jadi dinamis.
Bukan oleh percaturan hidup kita sendiri (melawan atau antara kelas-kelas) maka
penguraian kita perihal teknik kebudayaan feodalistis seperti tersebut di atas,
tetapi disebabkan pengaruh yang datang dari luar.
Biarlah
kita tinggalkan di sini perihal peraturan matriarchaat (pusaka turun kepada
kemenakan) di Minangkabau yang berhubungan dengan keadaan alam dan kedudukannya
yang terpencil. Dengan mendirikan demokrasi satu-satunya di Indonesia, kita
tinggalkan pula riwayat Sriwijaya dan kerajaan lain-lain di Pulau Jawa, dengan
menunjukkan garis-garis yang besar saja. Agama bangsa Indonesia, animisme,
didesak oleh agama Hindu dan Budha, demikianlah kata orang kepada kita. Bangsa
yang lebih pintar itu mengajarkan pemerintahan negeri, teknik kebudayaan yang
lebih sempurna. Penduduk Pulau Jawa yang suka damai itu belum mempunyai
pertentangan kelas dalam anti yang seluas-luasnya. Mereka tidak memberi kesempatan
kepada pengikut-pengikut agama Hindu untuk mempertaruhkan kepercayaan mereka
dalam sebuah pertentangan, yakni Hinduisme yang aristokratis dan Budhisme yang
lebih demokratis. Ketajaman pertentangan agama, oleh masyarakat Jawa yang tidak
mengenal kelas itu, dapat diredam. Sedikit atau banyak, semua filsafat Hindu
diterima oleh penduduk Pulau Jawa yang asli. Siwa, Wisnu, dan dewa-dewa agama
Budha yang di negeri asalnya satu dan lainnya bermusuhan serta berpisah-pisah,
hidup bersama di Pulau Jawa dengan damainya.
Dalam
hal yang seperti itu, Islam pun datang dan akhirnya mengambil kedudukan Hindu
dan Budha.
Penduduk
Jawa sekarang adalah "kristalisasi" dari bermacam-macam agama
ketuhanan dan agama dewa-dewa (animisme). Ia bukan seorang animis, bukan
seorang Hindu, bukan seorang Budha, bukan seorang Kristen dan bukan seorang
Islam yang sejati. Indonesia menurut alam, tetapi Hindu-Arab dalam pikirannya.
4. Kegundahan
(Pesimisme) Empu Sedah
Di
kerajaan Daha yang kokoh lagi termashur yang diperintah oleh Raja Jayabaya,
seorang yang cerdik dan pandai, lagi bijaksana, ada seorang ahli nujum yang
bernama Empu Sedah, yang selalu gundah karena sangat curiga terhadap pengaruh
luar negeri yang makin lama semakin besar. Dalam tulisannya disebutkan:
"Sebuah revolusi di Pulau Jawa akan timbul, dipimpin oleh orang yang
berkulit kuning dan akan memperoleh kemenangan buat beberapa lama". Dalam
perkataan sindirannya tertulis "akan memerintah seumur jagung".
Tidakkah
ramalan itu kemudian terbukti dengan kemenangan seorang Tionghoa Jawa bernama
Mas Garendi yang dalam waktu yang singkat menggenggam kota Kartasura?
Di
masa Empu Sedah, pengaruh bangsa Tionghoa makin lama bertambah besar.
Sudah
pada tempatnya bangsa Tionghoa itu sedapat mungkin mempergunakan bangsawan Jawa
sebagai alat untuk memenuhi kepentingan ekonomi mereka!
Bila
maksud ini tak berhasil dengan pengaruhnya itu, adakalanya dengan jalan
revolusi mereka mencoba-coba merebut pemerintahan negeri. Tetapi, supaya mereka
dapat tetap memperoleh kemenangan mestilah mereka lebih kuat atau mendirikan
satu kelas. Mereka haruslah menjadi anak negeri atau bercampur darah dengan
bumiputra. Barulah mereka dapat menaklukkan raja dengan perantaraan kaum tani
yang tidak senang itu. Karena bangsa Tionghoa dalam hal sosial tetap tinggal
dalam ke Tionghoaannya dan tak memperoleh bantuan militer dari tanah air
mereka, maka tak lamalah mereka sanggup mempertahankan kemenangan atas
raja-raja Jawa itu.
Rupanya
Empu Sedah mengerti betapa kebencian rakyat dan revolusi yang akan pecah.
Sedang kekuatan nasional tak cukup kuat menahan revolusi sosial tersebut.
Itulah yang menimbulkan kegundahannya.
Di
Kerajaan Majapahit berdiri beberapa perusahaan batik, genteng dan kapal dengan
kapital yang cukup besar. Dalam beberapa perusahaan bekerja ribuan kaum buruh.
Nahkoda-nahkodanya telah ada yang dengan kapal‑kapalnya berlayar sampai ke
Persia dan Tiongkok. Boleh jadi sungguh besar modalnya, malah modal orang
asing. Saudagar-saudagar yang kaya di bandar-bandar seperti Ngampel, Gresik,
Tuban, Lasem, Demak dan Cirebon agaknya adalah bangsa asing atau yang sudah
bercampur darah dengan orang-orang Jawa. Nahkoda Dampu-Awang, menurut ceritanya
yang berlebih-lebihan, mempunyai kapal yang layarnya setinggi Gunung Bonang dan
kekayaannya kerapkali dijadikan ibarat, rasanya seorang Tionghoa-Jawa. Satu
statistik di zaman itu tak ada pada kita! Tetapi banyak bangsa yang diam di
Pulau Jawa dapat dibuktikan dengan perkataan seorang pujangga Majapahit,
bernama Prapanca, "Tidak henti-hentinya manusia datang berduyun-duyun dari
bermacam-macam negeri. Dari Hindia-Muka, Kamboja, Tiongkok, Annam, Campa,
Karnataka, Guda dan Siam dengan kapal disertai tidak sedikit saudagar ahli-ahli
agama, ulama dan pendeta Brahma yang ternama, siap datang dijamu dan suka
tinggal.”
Sudah
tentu, penduduk bandar-bandar yang makin lama makin maju itu merasa memperoleh
rintangan dari kaum bangsawan di ibukota. Sebagaimana terjadi di negeri Eropa,
penduduk bandar meminta hak politik dan ekonomi lebih banyak. Dari pertentangan
antara pesisir dengan darat, perdagangan dengan pertanian, penduduk dengan
pemerintah, timbullah satu revolusi yang membawa Pulau Jawa ke puncak ekonomi
dan pemerintahan.
Bila
bandarnya mempunyai industri dan perdagangan nasional yang kuat, niscaya Jawa
akan mengalami satu revolusi sosial yang dibangkitkan, dipecahkan dan dipimpin
satu revolusi sosial yang dibangkitkan, dipecahkan dan dipimpin oleh
tenaga-tenaga nasional seperti terjadi di Eropa Barat, jadi revolusi borjuis
terhadap feodalis.
Tetapi
Jawa sesungguhnya dikungkung oleh ramalan Empu Sedah : "orang asing akan
memimpin".
Seorang
keturunan Hindu bernama Malik Ibrahim pada tahun 1419, dengan membawa agama
yang belum dikenal orang di Pulau Jawa, datang di Gresik yang ketika itu
penduduknya kebanyakan orang asing. Dengan cepat ia memperoleh pengikut. Jadi
boleh dikatakan, dengan kedatangannya yang membawa agama Islam ketika itu,
bumiputra bagaikan memperoleh "durian runtuh", karena ketika itu
sedang berapi-api pertentangan antara penduduk pesisir dengan ibukota.
Keadaan
bertambah kusut, dan pada akhirnya sampai ke puncaknya, yaitu penyerangan
terhadap raja-raja yang dipimpin oleh seorang Tionghoa-Jawa, bernama Raden
Patah. Dengan perbuatannya, Raden Patah menghancurkan kerajaan yang ada. Hal
itu menunjukkan lagi bahwa seorang asing, dengan membawa paham baru (agama
Islam) dan untuk mempertahankan kedudukan saudagar-saudagar asing di pesisir
itu, berhasil menjatuhkan kerajaan bangsawan setengah Hindu. Kerajaan Demak
berdiri dengan kemashurannya! Tetapi akhirnya terpecah belah oleh perang
saudagar yang dinyala-nyalakan oleh orang asing yang cerdik-jahat.
Jipang
bermusuhan dengan Pajang, Demak dengan Mataram. Semua perang saudara ini, besar
atau kecil, untuk kepentingan bangsa asing, dalam waktu singkat berakhir dengan
kemenangan seorang Tionghoa-Jawa bernama Mas Garendi.
5. Tarunajaya
Sebagaimana
di Kerajaan Roma dan Tiongkok, gundukan pengendali pemerintahan yang tidak
mencocoki kebenaran di ibukota disapu oleh kekuatan baru dari daerah;
demikianlah, darah Kerajaan Mataram akan dibersihkan dan dikuatkan oleh
Tarunajaya serta kawan-kawannya.
Seorang
putera Indonesia datang dari Makasar yang mengetahui jiwa (psikologi) rakyat
Jawa mendapat pengikut yang besar, serta berhasil mengalahkan Raja Mataram yang
keluar dari garis kebenaran itu. Pulau Jawa khususnya dan Indonesia umumnya
akan mempunyai riwayat lain bila tidak datang satu kekuasaan baru di Pulau
Jawa. Ramalam Empu Sedah yang lain sekarang seakan-akan terbukti,
"Pemerintahan bangsa asing, yaitu kerbau putih yang bermata seperti mata
kucing" (kebo bule
siwer matane).
Dengan
datangnya kekuasaan Belanda lenyaplah segala sesuatu yang menyerupai
kemerdekaan. Pengaruh bangsa asing dan percampuran darah dengan bangsa Asia
lain-lain menyebabkan gencetan yang sebuas-buasnya. Sekalian hak-hak ekonomi
dan politik "ditelan" bangsa itu (Belanda) dengan kekerasan dan
kecurangan, seperti yang belum pernah dikenal oleh bangsa Indonesia! Pemerasan
yang serendah-rendahnya (kebiadaban) serta kelaliman menjadi kebiasaan setiap
hari!
Tarunajaya
tak dapat melawan kekuasaan Belanda yang memakai senjata asing (Barat). Maka
kucing melihat keadaan ini dan untuk pertama kali dipergunakanlah jalan politik
devide et impera, memecah-belah dan menguasai, yang mashur itu. Sesudah Raja
Mataram berjanji kepada Kompeni Hindia Timur untuk memberikan kekuasaan dan
tanah, mulailah setan-setan itu bekerja.
Panembahan
di Madura, seorang kawan dari Tarunajaya, disumbat oleh Kompeni Hindia Timur
dengan mas intan dan perkataan yang manis-manis hingga mereka dapat
bergandengan. Sekarang Tarunajaya berdiri di antara "tiga api":
Belanda, raja dan kawan lamanya. Inilah yang menyebabkan kalahnya Tarunajaya
dengan disaksikan oleh Kompeni Hindia Timur sendiri!
Kerajaan
Mataram yang tak semanggah itu mendapat "kemenangan" atas sokongan
yang tak langsung dari Kompeni, namun suatu hal yang tak semanggah itu lambat
laun akan menjadi kenyataan juga seperti yang terbukti pada akhirnya.
6. Diponegoro
Jalan
raya dari Anyer ke Banyuwangi yang mesti mempertalikan daerah-daerah yang
dirampok itu dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels dengan cucuran peluh dan
taruhan nyawa orang Jawa. Dengan adanya jalan itu, proses penanaman kapital
jadi teratur. Tetapi proses itu tidak secara sukarela diterima oleh bangsa
Indonesia. Ia adalah satu proses paksaan dan tidak menurut undang-undang alam.
Saudagar di bandar-bandar didesak. Pelayaran dimonopoli oleh Belanda, bumiputra
dilarangnya mempunyai hak milik. Pemasukan katun dari Barat yang murah harganya
menghancurkan industri dan perdagangan, baik yang kecil maupun yang sedang.
Borjuasi Jawa atau setengah Jawa dapat meneruskan langkahnya, yakni perjalanan
antara feodalisme menuju kapitalisme. Akan tetapi, ia diperas sampai kering,
oleh kapital Barat dan perangkatnya; begitulah feodalisme Mataram yang hampir tenggelam
itu.
Seorang
anak jantan dengan kemauannya yang keras seperti baja, berpengaruh laksana besi
berani, yakni seorang laki-laki yang di dalam dadanya tersimpan sifat-sifat
putera Indonesia sejati, tak berdaya mengubah nasib yang malang itu. Jika Diponegoro
dilahirkan di Barat dan menempatkan dirinya di muka satu revolusi dengan
sanubarinya yang suci itu, boleh jadi ia akan dapat menyamai sepak terjang
Cromwell atau Garibaldi. Tetapi ia "menolong perahu yang bocor",
kelas yang akan lenyap. Perbuatan-perbuatannya, meskipun penuh dengan
kesatriaan, dalam pandangan ekonomi adalah kontra-revolusioner. Dan sangat
susah dipastikan, macam apakah Diponegoro dalam pandangan politik, sebab tak
dapat disangkal lagi bahwa cita-citanya adalah "Singgasana Kerajaan Mataram".
Satu kekuasaan yang mudah berubah menjadi kelaliman.
Diponegoro
menunjang kesuburan modal serta perluasan jalan. Karena itu, ia
menghalang-halangi kenaikan penghasilan atau secara ekonomi,
kontrarevolusioner. Tak pernah kita baca bahwa ia menentang kapital-imperialistis
dengan menghidupkan kapital nasional. Pendeknya, ia tidak mempunyai program
politik atau ekonomi. Ia merasa didesak oleh kekuasaan baru dan setelah dia
lihat bahwa kekuasaan baru itu mempergunakan kekuasaan Mataram yang bobrok itu
sebagai alat, maka kedua musuh itu pun diterjangnya.
Sekiranya
Pulau Jawa mempunyai borjuasi nasional yang revolusioner, Diponegoro dalam
perjuangannya melawan Mataram dan Kompeni pastilah berdiri di sisi borjuasi
itu. Dengan begitu niscaya dapatlah tercipta suatu perbuatan yang mulia dan
pasti. Tetapi itu tak ada, borjuasi yang berbau keislaman dalam lapangan
ekonomi dihancurkan oleh kapital Belanda sama sekali. Dalam kekecewaan yang
hebat terhadap Mataram dan Kompeni, dapatlah ia mempersatukan diri di bawah pimpinan
Kyai Mojo, seorang ahli agama Islam yang fanatik dan bersemboyan "Perang
Sabilullah", bukan kebangsaan.
Menarik
satu kesimpulan terhadap pemberontakan Diponegoro bukanlah satu pekerjaan yang
mudah. Karena hal ini sesungguhnya perjuangan kaum borjuasi Islam Jawa
menentang kapital Barat yang disokong oleh satu kerajaan yang hampir tenggelam
(Mataram).
Akibatnya
sungguh jelas. Tak ada seorang pun mampu, bagaimanapun pintarnya, menolong satu
kelas yang lemah, baik teknik maupun ekonomis melawan satu kelas yang makin
lama makin kuat.
Satu
kelas baru mesti didirikan di Indonesia untuk melawan imperialisme Barat yang
modern.
Apakah
kesimpulan dari riwayat-riwayat yang tersebut di atas?
Pertama,
bahwa riwayat kita ialah riwayat Hindu atau setengah Hindu; kedua bahwa perasaan sebagai
kemegahan nasional jauh dari tempatnya; dan yang penghabisan,
bahwa setiap pikiran yang mencitakan pembangunan (renaissance) samalah artinya dengan
menggali aristokratisme dan penjajahan bangsa Hindu dan setengah Hindu yang sudah
terkubur itu.
Bangsa
Indonesia yang sejati dari dulu hingga sekarang masih tetap menjadi budak
belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok-perampok asing.
Kebangsaan
Indonesia yang sejati tidak ada kecuali ada niat membebaskan bangsa Indonesia
yang belum pernah merdeka itu.
Bangsa
Indonesia yang sejati belum mempunyai riwayat sendiri selain perbudakan.
Riwayat
bangsa Indonesia baru dimulai jika mereka terlepas dari tindasan kaum
imperialis.
III
BEBERAPA
MACAM IMPERIALISME
1.
Berbagai Cara Pemerasan dan Penindasan
"Tuhan
menciptakan dunia menurut gambaran-Nya sendiri".
Orang
asing yang menjajah Asia selama 300 tahun adalah untuk memenuhi kebutuhan
mereka masing-masing dan mereka memerintah negeri-negeri taklukannya dengan
berbagai cara. Adapun secara ekonomis, dari dulu sampai sekarang dapat dibagi
sebagai berikut.
a. Perampokan
terang-terangan, dahulu dilakukan oleh Portugis dan Spanyol.
b. Monopoli,
yang dalam praktiknya sama dengan perampokan, masih terus dilakukan oleh
Belanda di Indonesia sampai sekarang (± tahun 1926,peny.).
c. Setengah
monopoli, mulai dilakukan oleh Inggris di India.
d. Persaingan
bebas, mulai dilakukan oleh Amerika di Filipina.
Cara-cara
imperialis lain hampir dapat disamakan dengan cara yang tersebut di atas.
Adapun
cara penindasan dalam politik adalah seperti di bawah ini.
a. Imperialisme
biadab, yakni menghancurkan sekalian kekuasaan politik bumiputra
dan menjalankan pemerintahan yang sewenang-wenang, misalnya adalah Spanyol di
Filipina.
b. Imperialisme
autokratis, yakni yang hampir tak berbeda dengan yang tersebut
pasal a seperti Belanda.
c. Imperialisme
setengah liberal, yakni imperialisme yang memberikan kekuasaan yang
sangat terbatas kepada bumiputra yang berkuasa (raja-raja atau kepala negara
yang turun-temurun seperti Inggris di India).
d. Imperialisme
liberal, yakni imperialisme yang memberikan kemerdekaan sepenuhnya
kepada tuan tanah yang besar serta kepada borjuasi bumiputra yang mulai naik,
misalnya adalah imperialisme Amerika di Filipina.
2.
Sebab-Sebab Perbedaan
Perbedaan
dalam cara pemerasan dan penindasan terhadap si terjajah disebabkan bukan oleh
perbedaan tabiat manusia di negeri-negeri imperialis tersebut. Tetapi karena
kedudukan kapital dari masing-masing negeri waktu mereka sampai di Asia, dan
juga cara menjalankan kapital tersebut.
Waktu
Spanyol dan Portugis kira-kira tahun 1500 datang di Asia, mereka belum terlepas
sama sekali dari feodalisme. Portugis dan Spanyol adalah negeri pertanian,
pekerjaan tangan, kaum bangsawan dan kaum agama (jadi belum ada industri).
Barang-barang
industri yang dapat dijual di pasar-pasar tanah jajahan belum ada. Mereka
datang ke koloni-koloni untuk merampok hasil-hasil di sana lalu dijual dipasar
Eropa dengan harga tinggi. Karena mereka sangat keras memeluk agama Katholik
yang baru saja mengusir Islam dari Spanyol, maka bangsa Indonesia yang memeluk
agama animis di Filipina itu dipaksa menjadi orang Kristen. Siapa yang tidak
suka mengikut paksaan itu dipancung dengan pedang.
Waktu
Belanda mengikuti Spanyol dan Portugis sampai ke Indonesia kira-kira tahun
1600, sebagian besar dari feodalisme Belanda telah didesak oleh borjuasinya.
Mereka telah melepaskan diri dari tindasan feodalisme serta Katholikisme dan
mengambil jalan menuju perdagangan merdeka, liberalisme dan Protestanisme. Negeri
Belanda ada di dalam zaman kapitalisme muda.
Inggris
yang pada tahun 1750 dapat berdiri tetap di India, sebenarnya telah 100 tahun
lamanya menyelami revolusi borjuasi di bawah pimpinan Cromwell.
Setelah
itu kapitalisme Inggris semakin maju dengan sangat cepatnya, disertai dengan
paham-paham perdagangan bebas, liberalisme, konstituationalisme dan kepercayaan
merdeka.
Amerika
sampai di Filipina pada tahun 1898 setelah mengalami dua revolusi borjuasi
(1775 dan 1860). Ia kokoh memegang paham Monroe, demokrasi dan politik pintu
terbuka.
3.
Akibat dari Berbagai Macam Cara Pemerasan dan Penindasan
Sebagai
buah dari cara perampokan itu, maka Portugis dan Spanyol akhirnya dihalau dari
tanah jajahannya (Siapakah yang akan dihalaukan sekarang).
Sekalipun
semangat revolusioner di Indonesia sudah matang dan menyala-nyala tetapi
persediaan belum cukup, maka imperialisme Belanda masih berdiri.
Dengan
jalan memberikan konsesi-konsesi yang besar, kalau terpaksa, serta politik
kompromis kepada segolongan orang India, maka imperialisme Inggris masih
berdiri di sana.
Dengan
berkedok untuk mengasuh, menolong dan mengasihi manusia serta memberikan
otonomi-ekonomi, politik ekonomi yang besar kepada bumiputra di Filipina maka,
imperialisme Amerika masih dapat membuat kekacauan di sana.
a.
India
Meskipun
Waren Hasting dan Lord Clive membunuh dan merampok, perbuatan mereka tidak
boleh disamakan dengan perbuatan Daendels, van den Bosch serta lain-lain, sebab
sistem kolonial Inggris dari segi "material dan riwayat" jauh lebih
mendingan daripada sistem Belanda (tentu saja kita tak menghendaki imperialisme
macam apa pun). Nafsu membunuh dan merampok dari imperialisme Inggris tak dapat
menghancurkan kemauan bangsa India.
Kemauan
itu memperlihatkan dirinya terutama dengan barang-barang hasil India yang belum
dirampok oleh Inggris. Setelah mengalami beberapa perjuangan politik dan
ekonomi, dapatlah bangsa India mendirikan industri, pertanian besar, dan
perdagangan besar nasional. Selain itu, imperialisme Inggris mengadakan sekolah
dari tingkatan terendah sampai sekolah-sekolah tinggi (lebih dari lima
universitas) dan semenjak beberapa lama telah mengadakan sistem pemerintahan
sampai kepada "dominion" atau lebih jauh lagi. India telah mempunyai
seorang Tilak, Mahatma Gandhi, Das, Tagore, Dr. C. Bose dan Dr. Naye yang
termashur ke seluruh dunia. Sekalian kaum terpelajar ini dilahirkan dalam
pengakuan imperialisme Inggris.
Karena
Inggris di negerinya sendiri mempunyai bahan-bahan untuk industri (arang dan
besi), dengan sendirinya ia menjadi bengkel dunia. Sebab ia tak mempunyai kapas
pada permulaannya, dijadikanlah India sebagai kebun kapas. Selain itu, sebagai
negeri industri yang mempunyai penghasilan yang amat besar, Inggris membutuhkan
pasar-pasar. Karena itulah, tanah Inggris (negeri industri semata itu) terpaksa
bekerja bersama-sama dengan India, meskipun pada permulaannya secara tak
langsung. Bukankah firma-firma dan maskapai-maskapai, baik impor atau ekspor
dalam perdagangan yang sedemikian besarnya antara Inggris dan India,
membutuhkan kaum saudagar pertengahan bangsa India sebagai perantaraan? Dan
lagi bukankah tak selamanya "bayonet" dapat memaksa suatu bangsa
untuk membeli barang-barang? Mau tak mau ia mesti menaikkan taraf hidup, jika
ia ingin memperoleh pembelian yang tetap. Inilah yang memaksa imperialisme
Inggris memberikan pendidikan Barat kepada segolongan bangsa India. Sekolah
Tinggi pertama di Benggala yang sekarang sudah berusia 100 tahun, yang pada
mulanya hanya boleh dimasuki oleh anak orang kaya dan aristokrasi, kemudian
dibenarkan juga buat anak orang biasa.
Dalam
waktu yang singkat, sekolah-sekolah tinggi itu pun menghasilkan sekian banyak
kaum terpelajar, hingga birokrasi Inggris tak dapat menerima mereka sama
sekali. Timbullah di sana kelas yang terdidik secara Barat dan yang merasa tak
senang, yaitu kaum buruh halus. Dari kelas inilah kemudian lahir beberapa orang
pemimpin pergerakan kemerdekaan yang terkenal sebagai ekstrimis, yakni kaum
kiri. Demikianlah, imperialisme Inggris melahirkan musuhnya serta menggali
kuburnya sendiri.
Dengan
pimpinan Tilak yang termashur itu, timbullah aksi boikot pada tahun 1900-1905.
Maksudnya supaya industri dan perdagangan nasional hidup, yaitu dengan jalan
memboikot barang-barang pabrik Inggris yang diimpor ke India (kapas ditanam di
India, sesudah itu dikirimkan ke negeri Inggris, dengan harga yang berlipat
ganda dijual pula kepada pembeli bangsa India).
Dengan
mempergunakan barang-barang yang belum dirampok "sebagai senjata",
kaum terpelajar memperoleh kemenangan. Tuan tanah yang besar-besar dan
saudagar-saudagar memberikan pertolongan berupa kapital, semangat dan alat
untuk memenuhi program kaum ekstrimis. Meskipun penuh dengan
rintangan-rintangan politik, ekonomi, keuangan dan alat yang luar biasa dapat
jugalah Tilak dan kawan-kawannya meraih kemenangan. Berbagai industri, termasuk
industri tenun — industri nasional waktu sekarang — adalah buah tangan yang
terpenting dari Tilak dan kawan-kawannya. Pun industri itu sudah mempunyai
lapangan internasional. Sebagian besar kemenangan itu juga tergantung pada
pertolongan buruh dan tani bangsa India.
Berdiri
di atas kemenangan Tilak, dapatlah Mr. Gandhi meraih kemenangan dalam
pergerakan noncooperation atau gerakan boikot. Hampir semua pabrik tenun di
Bombay (lebih kurang 200 jumlahnya) sekarang dimiliki dan dikelola oleh otak
dan tenaga India. Kapas Inggris terpukul dalam persaingan yang hebat, bukan
saja di India tetapi juga di Afrika, Melayu, Tiongkok dan lama-kelamaan juga di
Eropa.
Undang-undang
perdagangan India belakangan ini melindungi kapas keluaran India. Tidak sedikit
kebun-kebun firma dan bank sekarang bekerja dengan kapital India dan dipimpin
oleh bangsa India. Industri-industri seperti arang dan besi; serta industri
logam yang modern sekarang dipegang oleh bangsa India. Jika waktu perang dunia
Inggris membeli gerobak kereta api dari "Tata Coy", sekarang
(semenjak lebih kurang 2 tahun) ia membuat perjanjian akan membeli juga
mesin-mesin kereta api. Pendeknya, tanpa kekerasan imperialisme Inggris,
kapital nasional India berdiri — yang berakibat perjuangan yang tak mau kalah,
yang kadang-kadang menimbulkan pertumpahan darah. India sekarang ada di zaman
industri besar yang modern. Negeri Inggris bukan lagi jadi pusat bengkel di
dunia meskipun di dalam kerajaannya sendiri; dan India bukan lagi kebun kapas
bagi Britania.
Setelah
Inggris takluk dalam percaturan ekonomi, terpaksalah ia mengakui kemenangan
India dalam politik. Di sana sekarang berdiri industri nasional yang
kepentingan materialnya dalam beberapa hal bersamaan dengan kepentingan penjajah.
Tinggal lagi bagi Inggris memberikan konsesi-konsesi politik kepada wakil-wakil
tuan tanah yang besar dan borjuasi modern.
Memang
inilah artinya kerja islah pemerintahan negeri yang telah bertahun-tahun
dilakukan — MontageuChelmsfordsplan. Daerah besar-besar yang berpenduduk
50,000,000 seperti Benggala dan Daerah Tengah setelah diadakan islah (hervorming) dengan
perantara majelis-majelis daerah, hampir jatuh ke tangan bangsa India
sepenuhnya. Pemilihan dewan yang tertinggi (Duma bangsa India), dipengaruhi
oleh kaum Swaray, militer, perguruan, dan pengadilan, dalam beberapa tahun ini
disediakan - ditempati oleh putera-putera India yang cakap dan setia.
Meskipun
demikian, belumlah ada satu perwakilan rakyat (parlemen) dan kabinet yang
bertanggung jawab. Sungguhpun islah pemerintahan India jauh lebih sempuma dari
Dewan Rakyat ala Belanda, tetapi belum sampai seperti Dominion Canada,
konstitusi Filipina atau Mesir. Tetapi sejumlah pemimpin dan kaum ekstremis
dapat ditarik hatinya oleh islah itu. Karena itu pergerakan kaum revolusioner
untuk sementara waktu "terkandas" hingga imperialisme Inggris
memperoleh kesempatan untuk menarik napas.
b.
Filipina
Keadaan
di Filipina berlainan sedikit dengan di India. Bangsa Amerika datang, pada
tahun 1898, waktu bangsa Filipina telah "tiga perempat berhasil"
melemparkan kekuasaan Spanyol. Awalnya Amerika berlaku sebagai kawan, tetapi
setelah kokoh pendiriannya dia tinggal terus dalam negeri itu. Perang Filipina
-Amerika yang 33 tahun lamanya (1898-1901) tak berhasil menghalau pencuri itu.
Sebelum kedatangan Amerika, bangsa Filipina sudah dapat menunjukkan beberapa
nasionalis besar seperti Dr. Rizal (yang ditembak orang Spanyol dari belakang);
seorang organisator, Bonifacio, seorang diplomat Mahbini dan panglima perang
Luna serta Aquinaldo.
Karena
itu perlulah dipakai suatu tipu daya yang sangat fisik untuk mengelabui mata
sebuah bangsa yang gagah lagi cerdik, seperti rakyat Filipina itu.
Disebabkan
oleh kebesaran dan kekayaan Amerika dan oleh salah satu paham anti-imperialisme
di antara bangsa Amerika yang berpengaruh, dengan segera kaum imperialis
mengerjakan islah. Politik dalam negeri, dengan perantara "Senat" dan
"House of
Representative", sekarang boleh dikatakan ada di dalam tangan
bumiputra. Semua wakil dari kedua dewan itu — kecuali dari beberapa daerah
Islam — dipilih dengan hak memilih yang sepenuh-penuhnya dan semuanya adalah
orang Filipina. Sebagian besar gubernur dari daerah-daerah adalah juga orang
Filipina. Hanya beberapa kepala departemen saja orang Amerika. Di dalam satu
konstitusi, Amerika mesti berjanji akan memberikan "kemerdekaan" yang
seluas-luasnya "kepada bangsa Filipina setelah mereka dapat menunjukkan
kecakapan mendirikan pemerintahan yang tetap".
Sekolah
rendah diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan mementingkan pertanian.
Perusahaan
yang menjadi pokok dari ekonomi Filipina sekarang dipegang oleh bumiputra
sepenuhnya. Beberapa pabrik, rumah-rumah perdagangan dan maskapai-maskapai
kapal adalah kepunyaan atau dipimpin oleh orang Filipina. Empat buah Universitas
dan beberapa sekolah tinggi setiap tahun meluluskan putera dan puteri Filipina
dalam jumlah besar untuk mempertahankan bangsa yang 12,000,000 jiwa itu dari
tipu daya dan kecurangan Amerika.
Hanya
sedikit sekali penduduk yang buta huruf. Boleh dikatakan semua anak-anak masuk
sekolah. Hingga sampai ke sudut-sudut yang jauh, selain dari bahasa sendiri,
pemuda-pemudanya mengerti bahasa Inggris.
Biarpun
perguruan di sana tak menyenangkan hati seorang Belanda yang terpelajar seperti
Dr. Nieuwenshuis - yang tentu sekali akan selamanya menjilat-jilat kudis
pemerintahannya sendiri, sambil menghinakan perbuatan orang lain, tetapi karena
ketinggian intelek Filipina, orang-orang Amerika yang hebat dan kaya-kaya itu
tak dapat berbuat sesuka hatinya sendiri.
Sebab
Amerika pada tahun 1925 mesti membayar harga karet f 540,000,000 lebih banyak
daripada tahun 1924 kepada Inggris, timbullah pikiran orang Amerika untuk
membuka kebun di Filipina Selatan yang tanahnya bagus buat karet.
Tetapi
pemimpin-pemimpin Filipina bekerja keras untuk menghindari terkaman
"serigala-karet" bangsa Amerika. Sebelum mereka bertindak lebih jauh
buat memperoleh tanah yang luas untuk kebun karet, dalam konsesi — berkat usaha
pemimpin-pemimpin Filipina, anggota Senat dan House dengan hukum tanah (landwet) nya yang lama
ditentukan bahwa "tidak lebih dari 2500 acres (satu acre 4840 yard persegi) yang boleh disewakan kepada
orang asing. Belum berapa lama berselang serigala karet itu, dengan perantaraan
Firestone datang meminta konsesi untuk kebun karet itu. Mereka disambut dengan
perkataan bahwa hukum tanah Filipina "tidak memberi izin".
Pemimpin-pemimpin
Filipina berpendapat bahwa apabila Amerika menanam kapitalnya di Filipina,
selain rakyat segera akan menjadi sengsara (seperti di Jawa) juga Amerika akan
mendapat satu alasan untuk merintangi kemerdekaan Filipina. Imperialisme
Amerika yang tidak kurang cerdiknya dari imperialisme Anglosakson bukankah
kelak dapat mengatakan, bahwa satu kegoncangan boleh jadi akan muncul karena
kepergian Amerika yang belum pada waktunya? Kepentingan-kepentingan Amerika
membahayakan di Filipina.
Inilah
sebabnya maka pemimpin-pemimpin Filipina dengan tergesa-gesa mengeluarkan hukum
tanah tersebut dari kitab undang-undang dan membeberkannya kepada seluruh
rakyat... Layaknya sebuah kampung kedatangan seekor macan.
Sebuah
bangsa yang sudah terbuka matanya seperti Filipina, tambahan pula diberi
wawasan oleh surat-surat kabar bumiputra (disebabkan sekolah tinggi yang
dikutuki Dr. Nieuwenshuis yang terpelajar itu!), dapat melihat dan melaksanakan
kebenaran dari pemimpin-pemimpinnya. Dengan diiringi oleh seluruh rakyat,
dapatlah pemimpin-pemimpin Filipina setiap waktu memanah serigala karet
imperialisme Amerika dengan panah hukum tanah yang liat itu.
Tidak
seorang pun yang mencela sistem perguruan yang tidak nasional itu selain dari
pemimpin-pemimpin Filipina sendiri. Selain itu pun ada kesulitan-kesulitan
untuk mengambil peran perdagangan dari bangsa asing. Tetapi semuanya mereka
sekata (semufakat) bahwa sistem perguruan yang sehat dan perubahan ekonomi yang
sebaik-baiknya hanya dapat dilakukan dengan sempurna setelah tercapai
kemerdekaan bangsa. Dan di sudut dunia manakah hal itu dipandang secara
berlainan? Adanya Gubernur Jendral yang mempunyai hak mencegah (recht van veto) menjadi
rintangan bagi islah ekonomi yang semata-mata bagi bangsa Filipina. Itulah
sebabnya, saudara-saudara kita di sebelah utara sana masih terus berjuang
semata-mata untuk kemerdekaan yang seluas-luasnya.
Konsesi
yang besar-besar, yang dengan terpaksa diberikan oleh Amerika mulai 25 tahun
yang silam tak dapat mendinginkan sanubari bangsa Filipina untuk merampas hak
kelahiran dan kemerdekaannya.
Seandainya
yang dipertuan bangsa Filipina bukan Amerika (satu negeri yang terkuat dan
terkaya di atas dunia), tetapi "perampok di tepi Laut Utara (Belanda) yang
termashur itu", niscaya telah lama yang dipertuan itu dihalau mereka masuk
ke dalam neraka.
Inggris
menguasai karet lebih dari dua pertiga dan Amerika memakai 72 % dari hasil
dunia. Disebabkan masih berlakunya "Stevenson
Rubber Restriction's policy", tuan-tuan kebun dan mereka yang
mempunyai monopoli, bangsa Inggris sajalah yang menguasai karet sedunia ini — verslag
kamer van koophandel Amerika yang
diumumkan dalam Manila Tribune, 26
Juli '25.
c.
Indonesia
Keadaan
India dan Filipina yang saya kemukakan di atas, saya maksudkan untuk menambah
pengetahuan kita tentang imperialisme.
Perihal
Indonesia, sekarang dan nanti, akan kita uraikan di belakang dengan panjang
lebar. Setelah memperhatikan semua yang diuraikan di atas, niscaya tak sudah
bagi pembaca untuk mengartikan perampokan, pembakaran, dan pembunuhan yang
dilakukan orang Belanda. Karena itu, kita tidak akan berlama-lama menggambarkan
hongi-hongi (merica di Ambon), kebun kopi yang sekarang dipanggil penanam merdeka.
Semuanya telah terkenal dan dikutuki oleh setiap manusia yang berotak.
Jauh
dari maksud kita mengatakan bahwa sekalian kejadian itu adalah semata-mata
perbuatan "manusia" Belanda. Kita sendiri telah cukup mengenal
pekerti dan tabiat bangsa Belanda. Tetapi lagak dan lagu imperialisme Belanda
menjadikan seorang bangsa Belanda seperti yang kita kenal dulu dan sekarang —
jahat dan bengis.
Tatkala
Belanda mengarahkan kapal pembajaknya ke Indonesia, waktu itu negeri mereka
hanyalah negeri tani dan tukang warung kopi yang kecil-kecil.
Juga
sekarang negeri itu masih tetap tinggal sebagai negeri tani dan saudagar. Dan
ia tidak akan menjadi lain, karena ia tak mempunyai bahan dasar untuk industri
besar, yakni arang, besi dan kapas. Sekiranya negeri Belanda tidak mempunyai
tanah jajahan niscaya ia tak dapat menyamai Belgia atau Swedia.
Setinggi-tingginya
ia hanya satu negeri tani dan saudagar-saudagar kecil yang sunyi seperti
Denmark.
Dengan
keberanian dan kemauan seorang bajak laut serta ketamakan seorang tukang warung
kopi yang kecil, habislah sekalian hasil negeri Indonesia dirampasnya. Tak ada
sebutir batu pun untuk perumahan ekonomi bumiputra yang ketinggalan. Bagaimana
mungkin kita harapkan pemerintahan bijaksana dari bajak laut, tukang warung
kecil ini ! (Hoe kan men okk vooruitziensheid en
staatsmanschap van een piraat - kruidenier verwachten!).
Sebelum
datang Kompeni Hindia-Timur, orang Tionghoa, Hindu-Arab (lama-kelamaan) menjadi
orang Jawa atau setidak-tidak terus tinggal di negeri ini, tetapi bangsa Belanda
datang ke Indonesia dan balik ke negerinya dengan karung yang penuh berisi. Di
sana dihambur-hamburkan uang Indonesia dan di sanalah mereka menyedot dana
pensiunnya dari peti uang Indonesia. Akibatnya, bocor dan keringlah ekonomi
Indonesia!
Sekiranya
negeri Belanda adalah sebuah negeri industri yang maju niscaya lambat laun
terpaksalah ia seperti Inggris dan Amerika, memakai politik yang lain.
Ia
tentu akan memakai politik liberal terhadap orang Jawa atau Indo-Jawa serta
bangsawan Jawa. Dengan demikian, kemajuan politik dan ekonomi sebagai sekarang
terjadi di Filipina dan India, boleh juga terjadi di Indonesia. Biarpun Belanda
semenjak 20 tahun belakangan ini mulai mengindustrialisasi Indonesia, tetapi
tujuannya tetap monopoli. Kapitalnya tetap kapital luar negeri.
Jurang
antara penjajah dan si terjajah sekarang masih tetap sebagai di zaman Daendels
dan van den Bosch. Hanya suara revolusi yang gemuruh sajalah yang dapat
menimbun jurang yang dalam itu.
Tetapi
agaknya oleh karena hal inilah maka Indonesia dan negeri-negeri Asia yang lain
kelak memberi selamat kepada imperialisme yang dipertahankan Belanda itu. Sebab
dari pertentangan sosial yang tajam di Indonesia itu, satu masa niscaya akan
timbul kodrat baru yang dapat melepaskan Indonesia dan seluruh Asia dari
tindakan Barat untuk selama-lamanya.
IV
KAPITALISME INDONESIA
Kapitalisme
di Indonesia adalah cangkokan dari Eropa yang dalam beberapa hal tak sama
dengan kapitalisme yang tumbuh dan dibesarkan dalam negerinya sendiri, yakni
Eropa dan Amerika Utara.
1.
Kapitalisme yang Masih Muda
Karena
kapitalisme di Indonesia masih muda, produksi dan pemusatannya belumlah
mencapai tingkat yang semestinya. Kira-kira seperempat abad belakangan baru
dimulai industrialisasi di Indonesia. Baru pada waktu itulah dipergunakan mesin
yang modern dalam perusahaan-perusahaan gula, karet, teh, minyak, arang dan
timah.
Industri
Indonesia, terutama industri pertanian, masih tetap terbatas di Jawa dan di
beberapa tempat di Sumatera. Tanah yang luas, yang biasanya sangat subur dan
mengandung barang-barang logam yang tak ternilai harganya, seperti Sumatera,
Borneo, Sulawesi dan pulau-pulau yang lain masih menunggu-nunggu tangan
manusia. Meskipun Pulau Jawa dalam hal perkebunan dan alat-alat angkutan sudah
mencapai tingkatan yang tinggi, tetapi umumnya pulau luar Jawa, kecuali
Sumatera, masih rimba raya.
Industri
modern yang sebenarnya tidak akan diadakan di Pulau Jawa. Ia akan tetap tinggal
menjadi tempat industri pertanian. Sebab logam-logam seperti besi, arang,
minyak tanah, emas dan lainnya, tidak atau hanya sedikit sekali didapat di
sana. Sumateralah yang menjadi tempat industri modern yang sebenarnya. Hal ini
sekarang sebagian kecil telah terbukti. Arang, minyak tanah, emas dan timah
hasil Sumatera (kelak juga besi) besar artinya, baik di kalangan nasional
maupun internasional.
Inggris,
negeri industri yang tertua di dunia, pada pertengahan abad yang lalu
mengadakan perubahan yang tepat dalam perindustriannya. Negeri-negeri Eropa
yang lain dan Amerika Utara mengikuti pula berangsur-angsur. Teknik dan
peraturan bekerja di sana sekarang telah sampai pada tingkat yang
setinggi-tingginya seperti yang belum pernah dikenal oleh riwayat dunia. Tenaga
produksi dan distribusi jauh melewati batas keperluan nasional. Eropa dan
Amerika Utara telah menjadi negeri kapitalis yang matang.
Kapital
memisahkan kota dengan desa. Kota menghasilkan produksi industri dan produksi
pertanian. Makin maju kapitalisme, semakin banyak penduduk yang tadinya di
desa-desa ditarik ke kota-kota. Bukankah di kota sewaktu keadaan politik dan
ekonomi baik, kita peroleh lebih banyak pekerjaan, lebih banyak rumah-rumah
pendidikan dan lebih banyak kesenangan daripada di desa-desa? Pada tahun 1790
di kota-kota berdiam 3.4% dan di desa-desa 96.6% penduduk dari seluruh penduduk,
dan pada tahun 1920 menjadi 51 % dan 49%. Di tahun 1870 angka-angka itu jadi
21% dan 79% dan di tahun 1910 jadi 51 % dan 49%. Jadi, jumlah penduduk di
desa-desa pada tahun 1920 lebih kecil dari penduduk kota. Angka-angka ini
membuktikan secara nyata pada kita perihal kemajuan kota-kota Amerika, sebagai
akibat dari kemajuan industrialisasi. Di negeri Inggris proses pembagian itu
(perihal kota dan desa) sama teratur dan sama cukupnya. Pada tahun 1850 di
kota-kota berdiam 49% penduduk dari seluruh penduduk. Pada tahun 1900
perbandingan ini menjadi 77% dan 23%, (The relation Governement to industry,
M.L. Regua).
Menurut foods No. 73 tahun ini, jumlah penduduk dan kota-kota
yang mempunyai lebih 10,000 jiwa di Jawa dan Madura baru 60% dari seluruh
penduduk.
Jika
kita pakai perbandingan antara penduduk kota dan desa sebagai ukuran kemajuan
industri satu-satu negeri, niscaya industri Indonesia masih di dalam keadaan
bayi.
Jika
kita ambil pula jumlah panjangnya jalan kereta api untuk menggambarkan kemajuan
industri selaku penjelasan uraian kita yang di atas, nyatalah kepada kita bahwa
negeri Jerman, dengan 177,000 mil persegi luasnya dan penduduknya yang lebih
sedikit dari Indonesia, pada tahun 1913 mempunyai 38,809 mil jalan kereta api,
sedang Indonesia yang luasnya 735,000 mil persegi, pada tahun 1919 hanya ada
mempunyai 3,914 mil.
Perihal
jumlah perdagangan (impor-ekspor) di Indonesia 1924 (sesudah perang dunia) ada
f 2,208,800 (menurut International
Ocean, no. 526, Negeri Jerman pada tahun 1913 [sebelum perang] ada f
13,375,000.000). Angka-angka ini menunjukkan kemunduran kita. Tetapi jika
dibandingkan dengan negeri seperti Inggris, India, dan Filipina, kelihatannya
Indonesia belum berapa mundur. Dan bila dibandingkan dengan Turki, Siam, dan
Tiongkok, Indonesia jauh lebih baik. Dengan membuat perbandingan itu
sebagaimana yang sudah kita lakukan, sebetulnya ini telah melebihi dari
kemestian. Maksud kita tak lain ialah untuk menerangkan betapa mudanya
kapitalisme di Indonesia.
2.
Tumbuh Tidak dengan Semestinya
Kapitalisme
di Indonesia tidak dilahirkan oleh cara-cara produksi bumiputra yang menurut
kemauan alam. Ia adalah perkakas asing yang dipergunakan untuk kepentingan
asing yang dengan kekerasan mendesak sistem produksi bumiputra.
Bila
kita perhatikan perkembangan kapitalisme di Eropa dan Amerika, nyatalah pada
kita bahwa cara produksi yang tua berturut-turut digantikan oleh yang muda.
Biasanya kejadian itu tidak tampak jelas, tetapi adakalanya cepat sehingga
cukup jelas. Kejadian yang belakangan ini ialah oleh adanya
pendapatan-pendapatan baru. Biar bagaimanapun keadaan saat itu, ia adalah
kemajuan menurut alam, sebab tenaga yang mendorongkan pada kemajuan itu ada di
dalam genggaman masyarakat di Eropa dan Amerika sendiri.
Sebagaimana
yang telah kita tunjukkan, kemajuan industri di setiap negeri sejajar dengan
timbulnya kota-kota yang mengeluarkan terutama barang-barang industri seperti
barang-barang besi, perkakas pertanian, obat-obatan dan lain-lain. Desa-desa
mengeluarkan beras, sayur-mayur, binatang ternak, susu dan lain-lain.
Barang-barang kota yang berlebih — yakni barang itu dipandang penduduk kota
sebagai keperluan hidupnya ditukarkan dengan barang-barang desa yang berlebih
itu.
Di
Amerika pada waktu yang biasa seperti pada tahun 1913, selagi negeri ini terpencil
dan kurang imperialistis, seperti sekarang ini, boleh dikatakan sama besarnya
perbandingan antara barang-barang industri dengan pertanian (harga pasar antara
kedua barang itu hampir sama). Jadi dalam pemandangan ekonomi kota memenuhi
keperluan desa, desa memenuhi keperluan kota.
Di
Indonesia sebagai akibat kemajuan ekonomi yang tidak teratur sebagaimana
mestinya, tidak seperti di atas keadaannya. Kota-kota kita tak dapat dianggap
sebagai konsentrasi dari teknik, industri, dan penduduk. Ia tak menghasilkan
barang-barang baik untuk desa maupun untuk perdagangan luar negeri, dari
kapitalis-kapitalis bumiputra. Mesin-mesin pertanian, keperluan rumah tangga,
bahan-bahan untuk pakaian dan lain-lain tidak dibuat di Indonesia, tetapi
didatangkan dari luar negeri oleh badan-badan perdagangan imperialistis.
Desa-desa kita tak menghasilkan barang kebutuhan untuk kota-kota, karena untuk
mereka sendiri pun tak mencukupi. Beras misalnya, makanan rakyat yang terutama
mesti didatangkan dari luar, di tahun 1921 seharga f 114,160,000, meskipun
bangsa kita umumnya sangat pandai mengerjakan tanahnya dan semua syarat untuk
menghasilkan beras bagi keperluan sendiri bahkan dapat pula mengeluarkan
berasnya yang berlebih. Desa-desa kita mengeluarkan gula, karet, teh, dan lain-lain
barang perdagangan yang mengayakan saudagar asing, tetapi memiskinkan dan
memelaratkan kaum tarsi; kota-kota kita bukanlah menjadi pusat ekonomi bangsa
Indonesia, tetapi terus-terusan menjadi sumber ekonomi yang mengalirkan
keuntungan untuk setan-setan uang luar negeri.
Bahan
yang menyebabkan kapitalisme bukanlah Indonesia — mengingat riwayat negeri kita
yang tersebut di atas — teranglah bagi kita.
Sudah
kita lihat bahwa politik perampok bangsa Belanda, memusnahkan sekalian
benih-benih industri bumiputra yang modern. Hongi-hongi cultuur stelsel,
monopoli stelsel dan gencetan pajak yang tak ada ampunnya. Dan pemasukan
saudagar-saudagar Tionghoa yang teratur di zaman Kompeni Timur Jauh (VOC)
menghancurluluhkan sekalian alat-alat sosial ekonomi dan teknik nasional yang
kuat.
Jika
sekiranya bangsa Indonesia tidak dirampok, dan mempunyai kepandaian teknik,
serta dipengaruhi oleh orang asing, tentulah orang Indonesia ada kesempatan
untuk memenuhi kemauan alam.
Boleh
jadi dengan secara damai (seperti di Jepang) atau dengan perantara pemboikotan
nasional (seperti di India) kaum menengah Indonesia atau Indo dengan jalan
mengumpulkan kapital nasional mendirikan industri untuk memenuhi kebutuhan
nasional seperti tenun besi.
Demikianlah,
kapital Indonesia timbul dengan teratur pula antara lapisan-lapisan sosial
Indonesia dan mempunyai perhubungan yang teratur. Saudagar Indonesia yang dulu
kecil sekarang sudah menjadi bankir atau mengepalai perusahaan yang
besar-besar. Penempa besi, tukang tukang gula, saudagar batik yang dulu kecil
menjadi pemimpin industri logam, gula atau tenun. Tetapi imperialisme Belanda
dalam 300 tahun tak meningkatkan apa pun untuk bangsa Indonesia, semua habis
diangkut ke negerinya. Ia memuntahkan kapitalisme kolonial Belanda yang tidak ada
duanya di dunia.
Maju
ke dalam perjuangaan ekonomi melawan raksasa asing, dengan maksud meningkatkan
industri nasional sama dengan "menjaring angin".
3.
Kapital Indonesia Itu Internasional
Imperialisme
Inggris dengan industri nasionalnya yang nomor wahid dan armada yang luar
biasa, semenjak semula merasa perlu mengadakan kompromi dengan raja-raja, dan
tuan-tuan tanah bangsa India, untuk mempertahankan diri terhadap borjuasi
bumiputra yang baru timbul. Tetapi tatkala yang tersebut belakangan ini keluar dari
medan perjuangan dengan kemenangan (di tahun 1900-1905 dan 1919-1922), Inggris
mengulurkan tangannya.
Bersama
dengan raja-raja, tuan-tuan tanah dan borjuasi India yang baru itu, dia pergi
memperkuda punggung rakyat yang menggerutu itu. Bagaimanapun sulitnya
imperialisme Inggris, ia masih mempunyai tujuan di dalam kerajaan sendiri.
Imperialisme
Belanda memukul dan menendang "kerbau" yang sabar itu, sekian
lamanya, hingga sekarang kerbau itu mempergunakan tanduknya.
Belanda
kecil yang di waktu dulu menelan segalanya untuk dirinya sendiri, sekarang
terpaksa membagi-bagikan itu dengan negeri-negeri yang lebih kuat.
Adapun
kekurangan kapital dan industri, adalah sebab yang terpenting dari tindakan
Belanda itu, maka semenjak beberapa tahun, kapital Inggris memegang peranan
besar di Indonesia. Raffles yang bijaksana itu sudah lama melihat hal ini dan
tidak puas sebelum ia dapat mengelabui mata Belanda-tani itu. Setelah perang
dengan Napoleon berhenti, Inggris mengembalikan sekalian koloni Belanda.
Perbuatan ini seakan-akan sangat bertentangan dengan politik yang waktu itu
dipakai Inggris, tetapi setelah dicermati perbuatan itu adalah politik Inggris
yang selicin-licinnya dan semurah-murahnya dalam memakai Belanda sebagai opas
untuk kapital yang ditanamnya di Indonesia. Apakah pengambilalihan seluruh
administrasi yang ada di Indonesia memberi tanggung jawab dan kesusahan kepada
Inggris? Kapital Inggris yang beberapa tahun belakangan ini makin hari makin
besar, bagi Belanda — kecil sangat mengkhawatirkan, dan bangsa Indonesia
sekarang tak sabar lagi, hingga Belanda sekarang berniat memakai "politik
pintu terbuka". Istilah yang sebenarnya diambil dari kamus Amerika ini
sungguh cocok dengan politik Belanda di Timur. Dalam kata-kata biasa, ia
berbunyi: "Dan terhadap kapital Inggris serta bangsa Indonesia yang telah
terjaga dari tidurnya, semestinya Belanda lebih kuat bila mempunyai Amerika
yang demokratis. Tetapi negeri ini mesti ditarik ke Indonesia. Kapitalnya
ditanam di Indonesia dengan segala daya upaya dan, jika perlu, diberikan
hak-hak yang luar biasa. Jika tiba masanya, kelak Amerika bergandeng tangan
dengan Belanda".
Uang
dan susah payah tak diperhitungkan demi kapital Amerika. Seorang menteri pernah
berkata terus terang di dalam kamer,
bahwa: Kedatangan kapital Amerika sangat mudah karena undang-undang di
Indonesia sekarang. Kunjungan Fock ke Manila pada tahun 1923, dan kedatangan
beberapa kapal perang ke Filipina, mendudukkan seorang konsul jendral di New
York yang kerjanya selain hilir mudik dengan perundingan dan perjanjian juga
menghambur-hamburkan uang buat reklame, pamflet dan majalah yang selama
bertahun-tahun memuat perihal Jawa sang negeri ajaib (Java the Wonderland).
Semuanya itu adalah untuk memikat pelancong-pelancong dan kapitalis Amerika
supaya datang berduyun-duyun ke Indonesia.
Berapa
besar kapital Belanda itu dapat kita lihat pada angka-angka di bawah ini.
Dalam
buku Handbook voor cultuur en
handsondernemingen in Ned. India ditulis oleh Agulvant, kapital yang
ditanam di Indonesia ditaksir sejumlah f 3.270.000.000. Di antaranya f
1.27,000,000 di dalam kebun-kebun, minyak f 900,000,000. Dalam bank dan
perdagangan f 750,000,000.
Perusahaan
kapal, kereta api dan tram masing-masingnya f 250.000.000, f 220.000.000 dan f
200,000,000. Tambang-tambang f 70,000,000 dan maskapai-maskapai asuransi f
60,000,000.
Kapital
yang ditanam di Sumatera Timur pada tahun 1924 sejumlah f 439,000,000. Di
antaranya 55.3% kepunyaan Belanda dan 44.7% kepunyaan bangsa asing. Kapital
bangsa asing yang ditanam dalam industri pertanian sejumlah f 200,000,000. Di
antaranya f 147,500,000 adalah kapital Inggris, f 300,000,000 milik Prancis dan
Belgia, f 15.700.000 milik Jepang dan f 4.000.000 milik Jerman (International Ocean.
No. 6, 1926).
Luas
kebun karet pada tahun 1924 sebesar 241,357 bau [note 1]. Di antaranya 42.2%
kepunyaan bangsa asing dan 32.4% kepunyaan Inggris. Berhubung dengan monopoli
Inggris, kapital karet Amerika beberapa tahun belakangan ini sangat cepat
meningkatnya di Sumatera. Luas kebun teh di Jawa 116,664 bau. Kepunyaan bangsa
asing 23.8% dan Inggris 17.8%.
Dari
tujuh macam hasil utama yang dikirimkan ke pasar-pasar di seluruh dunia, ekspor
gula di tahun 1924, f 491,100,000 atau 32.1 % dari jumlah ekspor. Karet f
202,600,000, atau 13.2% dari ekspor. Minyak tanah f 158,300,000, tembakau f
123,600,000, kopra f 97,400,000, teh f 93,600,000 dan kopi f 56,600,000 yakni
masing-masing 10.3%; 8.1%; 6.4%; 6.1%; dan 4.3% dari jumlah ekspor semuanya.
Pada
tahun 1924 ekspor ke tanah Inggris dan di jajahannya 42.55% dari semua ekspor
dan ke negeri Belanda hanya 19.7%, sedang 40.4% dari Inggris dan tanah
jajahannya.
Jadi
teranglah, bahwa perdagangan Inggris di Indonesia lebih besar dari semua negeri
asing, sedangkan di dalam perusahaan minyak dan kebun-kebun yang terpenting,
kapital Inggris memegang peranan yang terbesar di antara kapital bukan Belanda.
Jadi tidaklah mengherankan mengapa orang Belanda tergesa-gesa memikat kapital
Amerika.
Betul
beberapa tahun belakangan ini, karena iri hati melihat Inggris menjalankan
politik karet dengan cara monopoli, Amerika mulai menanam kapitalnya di kebun
karet di Sumatera Timur. Akan tetapi, hal itu belum menjadi satu kepastian,
apakah Amerika hendak menanamkan kapitalnya di Sumatera dan Jawa saja, sebab di
Mindanau (Filipina Selatan) dan Liberia ada tanah yang subur untuk kebun karet.
Mengakui
dan melindungi industri bumiputra yang modern seperti di India menurut
pandangan ekonomi baru tidak akan ada sama sekali, sebab industri bumiputra
modern memang tidak ada. Rakyat hanya diperas, diinjak-injak dan ditipu.
Pemecatan kaum buruh bukanlah satu keanehan, dan cengkraman pajak makin lama
makin erat. Ekonomi rakyat tak perlu disebut-sebut sebab negeri Belanda
terutama bergantung pada kapital luar negeri.
[note
1] 1 bau = 500 tombak persegi atau 7096 m2.
V
KEADAAN RAKYAT
INDONESIA
1. Kemelaratan
Berapa
ribu, bahkan berapa ratus ribu rakyat Indonesia yang meringkuk dengan perut
kosong di atas balai-balai setiap hari saat melepas lelahnya, tak terjelaskan
dengan tepat. Pemerintah punya catatan angka-angka yang lengkap tentang
kebun-kebun dan perusahaan yang menguntungkan, terutama nama-nama orang yang
wajib membayar pajak, tetapi lupa memberi kepastian tentang penghidupan rakyat
seluruhnya. Betul kadang-kadang dibentuk oleh pemerintah suatu panitia, tapi badan
itu tak mewakili rakyat, dan tentu saja panitia itu tidak pernah mendakwa
kapital besar, meskipun mencela saja. Pemeriksaan "teratur" dan
"merdeka" sebagai bukti maksud-maksud yang suci, belum pernah
kedengaran.
Jika
kita mau tahu berapa jumlah buruh industri, kebun-kebun dan pengangkutan,
tentulah dengan jalan itu kita ketahui berapa banyaknya "budak belian
kolonial" yang kelaparan di Indonesia sebab sebagian besar dari buruh
industri itu miskin, sebab kepada perusahaan besar-besar itu, mereka harus menjual
atau menyewakan tanahnya, hingga akhirnya kehilangan tanah dan mata
pencaharian.
Hal
itu tidak mungkin disebabkan oleh ketakpedulian dan kelalaian pemerintah.
Meskipun kita bekerja dengan angka-angka yang tak cukup, ini belum berarti
bahwa keadaan rakyat Indonesia adalah buku yang tertutup bagi kita; bahkan
sebaliknya tak dapat diduga bahwa dua sampai tiga juta budak yang tertindas
menerima upah yang hanya cukup bertahan agar mati kelaparan. Bagian yang
terbesar dari mereka berorganisasi. Mereka itu misalnya buruh kereta api,
tukang sapu, kuli barang dan tukang rem, yang mulai bekerja dengan gaji f 15 —
dengan satu sampai dua rupiah kenaikan setiap tahun — dan mencapai maksimum f
30 sampai f 40 sebulan apabila mereka sudah beruban. Sungguh gaji itu terlalu
sedikit di zaman kapitalisme, dan hal ini sangat menyedihkan, mengingat kepada
kecermatan dan tanggung jawab sekumpulan buruh itu bergantung hidup beribu-ribu
manusia.
Jika
beratus ribu buruh gula yang karena tak berorganisasi tidak berani meminta tambah
gajinya; Jika kaum tani yang kehilangan tanah hanya bekerja beberapa bulan
dalam setahun dengan gaji 30 atau 40 sen sehari, yakni di waktu memotong tebu;
jika 250 sampai 300 ribu kuli kontrak — yang dinamakan "kuli merdeka"
di Sumatera Timur — mendapat upah 30 sampai 40 sen sehari, siapakah yang berani
mengatakan bahwa di masa ini seseorang (meskipun ia seorang inlander!), dengan
anak bininya, dapat hidup sebagai manusia dengan upah 12 sampai dengan 25
rupiah sebulan? Jika ada orang yang berkata seperti itu, ia adalah seekor
keledai atau lebih hina lagi adalah seorang "pengkhianat".
Tukang-tukang
besi segolongan buruh yang besar gajinya di negeri-negeri lain, di Surabaya
sangat rendah gajinya, tinggal seperti di kandang anjing, makanan, pakaian dan
keperluan hidup lain-lain tak cukup, hingga kekallah mereka jadi mangsa lintah
darat Tionghoa dan Arab. Kita masih mendengar gaji mereka antara 30 sampai 40
rupiah. Di Surabaya yang dikenal sebagai kota dagang, gaji itu berarti sekadar
penghalang agar jangan sampai mati.
Siapakah
nama gubernur jendral yang pada suatu hari dengan malu-malu menceritakan bahwa
beribu-ribu kuli di pelabuhan Jakarta, sebab upah mereka tidak cukup untuk
menyewa gubuk yang sangat dicintai oleh orang-orang Jawa? Sudah begitu
memalukan dan tak menentunya nasib kaum buruh yang nota bene masih kerja itu,
bagaimanakah halnya kaum penganggur yang makin lama makin banyak itu?
Dalam Verslag
van de Suiker Enquete Commissie (hlm.
99) kita baca kalimat yang sangat berarti: "Agaknya setengah dari keluarga
rakyat di Pulau Jawa termasuk orang yang mempunyai tanah, dan selebihnya hidup
dari perusahaan dan perdagangan bumiputra ataupun bukan. Di sana tentulah
beratus ribu manusia yang tak punya apa‑apa, yang kadang-kadang bekerja pada
salah seorang peladang dan dengan tidak pada tempatnya menamakan dirinya
petani". Selain itu, di kota-kota tidak sedikit orang yang bergelandangan
di sepanjang jalan, makan sesuap kala pagi dan sesuap kala petang. Kita tidak
mempunyai statistik yang lengkap, benar dan sah tentang berapa jumlahnya.
Tetapi
siapapun yang pernah tinggal di kota gula seperti Banyumas, Solo, Kediri dan
Surabaya, serta ia sungguh memperhatikan kehidupan rakyat, ia akan tercengang
dengan "kesabaran" dan "kebetahan" rakyat menanggung
kesusahannya, bahwa pajak jauh melewati kesanggupan penduduk, tidak asing lagi
bagi orang-orang pemerintah.
Semua
dan setiap yang bernyawa (meskipun dia tidak berpencaharian) mesti membayar
pajak. Kutipan-kutipan dari segala pihak dapat kita cantumkan, tetapi, karena
kita anggap tidak berfaedah, tak perlu kita tambahkan di sini.
(Sepintas
lalu kita katakan bahwa industri besar-besar dan kongsi-kongsi perdagangan juga
membayar pajak. Akan tetapi, hal itu adalah perkara perjanjian belaka, karena
dengan berbagai cara, pajak itu dapat ditimpakan di atas kepala rakyat
Indonesia yang melarat dan tak punya hak lagi itu).
Padoux,
penasihat pemerintah Tiongkok dalam "Memorandum for the National
Commission for Study of Financial Problem", menentukan bahwa setiap kepala
di Filipina, Indo-Cina, Prancis, Siam, Indonesia, dan Tiongkok masing-masing
membayar pajak $7.50, 8.50, 9.50, 15.50, dan 1,20.
Jadi,
pajak yang tertinggi di Indonesia! yaitu dua kali Filipina, hampir dua kali
Indo-Cina, Prancis, dan dua belas kali Tiongkok. Perhitungan itu diambil
menurut perbandingan sebelum tahun 1923. Waktu itu masih ada "Inlandsch
Verponding" — satu perbuatan hina yang tidak tahu malu — sebagaimana yang
belum pernah dilakukan oleh seorang raja yang selalim-lalimnya di Jawa.
Mr.
Yeekes menerangkan dalam "de Opbouw" (tahun 1923) bahwa pendapatan
rakyat Indonesia pukul rata f 196 setahun. Dari pendapatan itu banyak yang
harus dikeluarkan sebagai pembayar pajak, dan di luar Jawa untuk rodi pula,
hingga pendapatan sebulan tinggal f 13. Satu angka yang jauh di bawah minimum.
Perhitungan Mr. Yeekes ini adalah untuk seluruh Indonesia, jadi penda-patan
rakyat di Jawa Tengah tentu lebih sedikit lagi.
Kita
di zaman modern ini sedih dan heran melihat orang Jawa yang tinggal di
pondok-pondok rombeng atau tak bertempat tinggal sama sekali, kelaparan dan
berpakaian kotor compang-camping, hidup dalam iklim yang sangat membahayakan
sebagai di Indonesia, kurang terawat kesehatannya, disebabkan wabah malaria,
cacing tam-\bang, kolera dan sampar; "hanya" ratusan ribu yang mati
di waktu penyakit itu merajalela.
Suatu
keuletan yang patut dipuji!
2. Kegelapan
Masih
saja "pemerintah tani dan tukang warung" Belanda takut kepada
Universitas dan Sekolah Tinggi seperti kepada hantu. Masih saja belum terlepas
ia dari gangguan momok "buruh intelektual". Ia sudah berbuat keliru
dalam pandangan politik pengajaran Inggris dan mengambil kesimpulan yang salah.
Ia terlalu bodoh untuk memikirkan bahwa berhubung dengan wawasan dan kecakapan
imperialisme Inggrislah, maka dulu sudah ada kaum terpelajar di India yang pada
masa sulit kerapkali membantu pemerintah Inggris, dan juga berkat adanya kelas
intelektual, termasuk juga kaum ekstrimis, maka Tilak dan Mahatma Gandhi
beroleh kemenangan ekonomi dengan gerakan boikotnya yang luas. Dan pula karena
Inggris bekerja sama dengan borjuasi bumiputra modern, di lapangan politik dan
ekonomi, maka Inggris dapat memerintah terus di India walaupun digempur oleh
gerakan noncooperation baru-baru ini.
Pemerintah
Belanda di dalam perdebatan selalu mengemukakan pelbagai keberatan terhadap
pendirian universitas di Indonesia, yaitu keberatan yang hanya dapat diterima
oleh anak-anak kecil. Semua dalilnya hanya terpakai di zaman timbulnya
penjajahan dan dapat disimpulkan dalam alasan-alasan di bawah ini.
1.
Bahwa pemerintah ini, sesudah menyesal, seharusnya sekarang menjadikan dirinya
pendidik rakyat Indonesia dengan belanja rakyat sendiri dan sepatutnya memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepada anak-anak Indonesia, jika ia tidak doyan
omong kosong.
2.
Bahwa bangsa Indonesia baik otak maupun kebangsaan tidak lebih tinggi, juga
sebaliknya tidak lebih rendah dari bangsa mana saja, dan bahwa mereka itu
sungguh matang untuk menerima pengajaran yang macam mana sekalipun.
3.
Bahwa universitas Indonesia yang pertama tak perlu cangkokan atau tiruan dari
Eropa,tetapi dengan memperhatikan perguruan tinggi di Eropa berdasarkan pada
kecerdasan rohani dan keadaan masyarakat Indonesia sendiri pada masa ini.
Filipina
— yang 12 juta penduduknya — sudah mempunyai empat universitas dan beberapa
sekolah tinggi, tapi Indonesia dengan penduduknya yang lima kali lebih banyak
belum mempunyai sebuah juga.
Sekejap
pun tak kita lupakan, bahwa bila "orang Belanda" mendirikan
universitas di Indonesia, pengajarannya niscaya dan pasti lebih tinggi daripada
di koloni lain sebagaimana, katanya, universitas Belanda jauh lebih tinggi
daripada universitas di mana pun. Tanpa mempedulikan tabiat menurutkan kata
hati sendiri itu, kita hanya ingin mengatakan kepada Belanda, "Cobalah
dulu tunjukkan kecakapanmu itu di Indonesia!"
"Perbuatan itulah yang sebenarnya harus kamu
buktikan!"
Tetapi,
selain duit yang bagi seorang Belanda lebih berat timbangannya daripada
cita-cita dan alasan politik, ada pula pandangan politik lain yang tak dapat
kita harapkan dari si Belanda tani dusun yang dungu itu.
Belum
selang berapa lama Tuan Hardeman, Kepala Departemen Pengajaran, menerangkan
dalam sidang Dewan Rakyat bahwa mendirikan suatu perguruan tinggi belum tentu
melahirkan buruh terpelajar, karena kebutuhan akan buruh pelajar itu untuk
sementara waktu ini berkurang, disebabkan kesukaran ekonomi yang nanti tentu
akan pulih. Dengan ini lenyaplah "momok" seperti yang dibuat oleh Java
Bode, tanggal 30 Juni.
Akibat
politik pengajaran Belanda di sana-sini kelak akan kita ulas lagi. Di sini kita
ingin memastikan, dengan angka-angka, bahwa perguruan rendah, menengah dan
tinggi, semenjak dulu tidak cukup untuk rakyat yang berjumlah 55 juta. Hal itu
harus diakui tanpa mengindahkan alasan kosong dari yang menyebut dirinya
"pemerintah".
Kita
lewati sepintas lalu sekolah-sekolah tinggi yang sudah beberapa tahun, katanya,
mengeluarkan berpuluh-puluh dokter, mister, dan insinyur. Kita tujukan
pembicaraan sebentar kepada soal sekolah rendah. Jumlah anakanak yang harus
masuk sekolah pada tahun 1919 adalah sebagai berikut: H.I.S. 1%, Sekolah Rakyat
5%, Sekolah Desa 8% sampai 14%. Lebih kurang 86% anak-anak yang seharusnya
bersekolah tak mendapat tempat (menurut laporan kongres N.I.O.G. tahun 1923
yang diumumkan dalam Indische Courant).
Mereka yang bisa membaca dan menulis sekarang ditaksir 5% sampai 6%, mungkin
juga 2% sampai 3%.
Jumlah
belanja perguruan di tahun 1919 menurut kabar yang sah adalah f 20,000,000 dan
f 75,000,000 untuk 150,000 orang anak-anak Eropa dan f 12,500,000 untuk anak-anak
dari 55,000,000 tukang bayar pajak rakyat Indonesia. Pada tahun 1923 belanja
perguruan itu f 34.452.000. Jadi, untuk seorang anak bumiputra pada waktu itu
dikeluarkan 30 sen, sama artinya 1/7 dari yang dikeluarkan untuk anak Filipina.
Untuk
badan-badan lain, yang memperlihatkan contoh yang baik kepada rakyat yang tak
senang, seperti polisi, militer dan armada, pada tahun itu dikeluarkan belanja
sebesar f 156,274,000. Tambahan pula seperti yang sudah dimufakati antara dia
sama dia, di lain tahun akan dibelanjakan f 300,000,000. Satu beban yang berat
sekali di atas bahu si Kromo yang merana itu.
Kita,
kaum revolusioner, pada tahun 1921 bermaksud untuk memperbaiki keteledoran
pemerintah dalam pendidikan itu dengan mendirikan sekolah-sekolah sendiri.
Dengan menempuh pelbagai macam kesusahan, seperti kesulitan teknis,
kepegawaian, keuangan, politik dan polisi, akhirnya dapat kita dirikan di
seluruh Jawa 52 buah sekolah dengan kira-kira 50,000 orang murid dan jumlah itu
bertambah banyak. Akan tetapi, sekolah itu digencet dengan kekerasan. Dengan
alasan yang tak cukup setiap waktu guru-guru di sekolah itu dilarang mengajar,
dan orangtua murid-murid ditakut-takuti. Pukulan penghabisan dijatuhkan Serikat
Hijau (sebuah kumpulan penyamun yang dikerahkan, diupah dan dipimpin oleh
pemerintah dan orang-orangnya). Penyamun upahan ini disuruh membakar sekolah,
menakut-nakuti dan menganiaya orang, murid dan guru-gurunya. Dan perintah
dijalankan oleh mereka dengan sungguh-sungguh.
Sebuah
pergerakan rakyat yang sehat menuju ke pemberantasan buta huruf yang dipimpin
dengan gembira dan tak memandang susah payah oleh kaum revolusioner di Priangan
pada tahun 1922 ditimpa nasib yang seburuk itu pula.
Politik
pemerintah ini dalam soal pengajaran boleh disimpulkan dengan perkataan: "bangsa
Indonesia, harus tetap bodoh supaya ketenteraman dan keamanan umum ter
pelihara" .
3. Kelaliman dan
Perbudakan
Meski
sudah 300 tahun Indonesia berkenalan dengan peradaban Barat, masih saja rakyat
kita hidup di dalam keadaan yang tak mengenal atau mempunyai hak. Pak tani tak
pernah sehari juga mendapat kepastian tentang kepemilikan, kemerdekaan bahkan
nyawanya sekalipun. Setiap tahun skrup pajak rakyat semakin keras putarannya.
Kaum buruh tidak boleh mengadakan perhimpunan atau mengemukakan keberatannya.
Permohonan rakyat yang pantas tidak didengarkan. Pendidikan dan pemimpin rakyat
yang dipercayai rakyat dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit, dan
karena itu, dengan tidak diperiksa terlebih dahulu, dimasukkan ke dalam
penjara, disekap di kamar tikus, dihalau keluar negeri atau diketok kepalanya
sampai mati. Permintaan dan protes yang beralasan dimusnahkan oleh birokrasi
yang rupanya lebih suka tenggelam dalam kebusukannya sendiri.
Sekarang
marilah kita persilakan Prof. Van Vollenhoyen yang termashur itu berbicara dan
mencela sikap pemerintah Belanda, seperti yang tertulis dalam buku beliau Indonesier
en zijn Grond. Indonesia boleh jadi mempunyai tidak kurang dari 70%
penduduk yang hidup dari pertanian; dan karena itulah, maka penting bagi seorang
terpelajar — yang kehormatan dan kedudukannya belum pernah dicurangi orang —
supaya mendengar apakah yang sudah diperbuat terhadap si tani dalam beberapa
tahun oleh sebuah kekuasaan yang mengaku dirinya sebagai "pengasuh
rakyat" serta merasa berbuat serupa itu.
Kita
bukan hendak mengorek-orek yang sudah terjadi maka lebih dulu diperbincangkan
kejadian-kejadian semenjak 60 tahun dari abad yang silam. Siapa saja tentu tahu
dan membenarkan perkataan bahwa di tahun-tahun itu "orang Jawa
dianiaya". Akan tetapi tidak semua orang dengan lekas melihat macam apa
dan sampai ke mana batas penggencetan atas milik kaum tani itu. Untuk
mengetahui hal ini, tak usah kita baca buku-buku kelaliman pemerintah Belanda
ini sebagai "kaum penghasut dan penyebar kebencian", tetapi kita
ambil saja perslahannya sendiri.
Kesewenang-wenangan
Daendels, biar bagaimana busuknya, masih dapat dianggap luar biasa. la
mempunyai kekuasaan sendiri atas sawah dan ladang rakyat untuk menggaji pegawai
bumiputra (hlm. 12 dan dll).
Seterusnya
van Vollenhoven berkata: "dibandingkan dengan peratusan raja-raja Jawa
yang hampir sama busuk dengan kebiasaan kita, "masih terbatas" dalam
kerajaannya saja, Kedu, Yogyakarta dan Surakarta, tetapi kita meluaskannya
sampai meliputi seluruh pulau itu" (hlm. 16).
Pegawai-pegawai
desa mengambil suatu kepunyaan rakyat yang baik untuknya dan diberikannya yang
buruk kepada rakyat yang bodoh. Semua itu perbuatan sewenang-wenang (hlm. 17).
"Apakah
yang kita harapkan sekarang?” tanya van Vollenhoven seterusnya. Apakah kita
berangsur-angsur akan menghentikan kerewelan perkara sawah ladang karma pajak
tanah (ini sudah terjadi). Apakah kita berang,sur-angsur tidak lagi akan
mengambil sawah ladang dan kebun paksaan rakyat (ini sudah terjadi). Apakah
kita akan mengurangi dan menghapuskan akibat yang merugikan dari kerja paksa
atas tanah-tanah kepunyaan rakyat (ini sudah terjadi). Dan selanjutnya kita
belajar mendiamkan tangan kita yang gatal itu. Yang belakangan ini belum
terjadi (hlm. 20).
Bila
pada tahun 1919 seorang Jawa yang haknya atas tanahnya dirugikan f 1,000 datang
mengadukan halnya kepada kontrolir, ia akan dihukum delapan hari kerja paksa.
Bila ia menghadap Presiden Pengadilan Negeri, ia akan dijawab, "Tidak ada
waktu!" dan bila orang itu pergi minta perlindungan Wali Negeri, "Sri
Paduka Tuan Besar tidak berkenan menjawab". Dalam bahasa Belanda yang agak
halus disebut hal itu "godsgeklaagd"
(hlm. 26).
Seringkali terjadi di tengah-tengah sebidang tanah yang akan diberikan
pemerintah kepada tuan-tuan besar kebun ada sawah atau ladang bumiputra.
Menurut undang-undang, tanah itu tidak boleh diambil kecuali jika untuk
keperluan pemerintah sendiri. Akan tetapi dalam praktiknya orang berikhtiar
membujuk si inlander supaya mau menukar haknya dengan uang (hlm. 26).
Berikut ini adalah kesimpulan dari Prof. van. Vollenhoven yang tak dapat dicela
kebenaran dan kenyataannya itu.
"Tetapi
rupanya inilah yang sepenting-pentingnya orang Indonesia yang punya tanah
sendiri, sungguh sangat susah akan mempunyai perasaan selain dari pelanggaran
terus menerus; dusta dan penipuan atas hak tanahnya yang sah di atas kertas,
sebagai daya upaya yang tak habis-habisnya untuk merampasi haknya tadi atau
berdaya upaya supaya ia jangan dapat mempergunakannya" (hlm. 28).
Kita
masih dapat mengutip beberapa gugatan dan kesimpulan van Vollenhoven yang
berkenaan dengan penipuan atas tanah dengan jalan mengubah kalimat
undang-undang, dengan merusak dan melanggar undang-undang itu sendiri dan
tentang sebab-sebab pemberontakan di Sumatera, Borneo, yakni pencurian tanah.
Akan tetapi, kutipan tersebut di atas sudah memadai.
Dan
tidakkah semua kenaikan pajak sekarang itu adalah suatu kesewenang-wenangan
yang kasar jika kita menggunakan perkataan Prof. van Vallenhoven itu sendiri?
Adakah rakyat kita diberitahu waktu pemerintah mengambil suatu keputusan dan
memperbincangkan kepemilikan, pekerjaan dan kemerdekaan kita?
Tidak
pernah! Persis sebagaimana pemerintah tidak pernah bertanya kepada kita,
"Apakah kita menyukainya atau tidak?"
Bangsa
Indonesia yang 55 juta itu tidak mempunyai wakil seorang jua pun dalam
pemerintahan ini yang boleh memperdengarkan suara atau nasihat, protes atau
celaan. Gerombolan militeris dan birokrasi yang menghisap darah dan menguasai
nasib kita, tak pernah kita sukai dan kita pilih. Mereka tak dapat kita
hentikan sebab kita tak punya kekuasaan politik. Mereka ini mesti kita terjang
bila kita tidak suka kepada mereka, lain tidak! Kesimpulannya, sekalian dan
peraturan yang menguasai kita di Indonesia dibuat sesuka hati mereka sendiri
dan pembayaran pajak dalam teori atau praktik, semuanya adalah
"pencurian".
Marilah
kita perhatikan nasib 300.000 kuli kontrak, yang "katanya" dilindungi
oleh pemerintah ini. Upah yang kurang lebih f 12 sebulan sungguh hampir tak
cukup untuk membeli pakaian yang biasanya koyak-koyak, sebab setiap hari
dipakai kerja di kebun. Sehari bekerja 14 sampai 18 jam, sebab kebun-kebun
tembakau biasanya jauh letaknya dari pondokan kuli, lebih tepat kandang kuli,
meskipun di dalam kontrak hanya tertulis 10 jam.
Perlakuan
pengawas-pengawas kebun bangsa Eropa lebih tepat digambarkan sebagai penikaman,
pembacokan; penganiayaan dan pembunuhan atas asisten-asisten kebun dan
"kehalusan yang diusik-usik hingga menjad kekejaman!" Di sinilah
terjadi pergaulan sosial yang diracuni oleh judi, candu dan persundalan yang
merendahkan tabiat kuli-kuli dan menyebabkan mereka banyak berutang kepada
majikannya, hingga kontrak mereka terpaksa selamanya diperbaharui.
Syarat-syarat
kerja seperti itu — langsung atau tidak — dipikulkan di atas kaum tani yang
kebanyakan buta huruf dan dungu; mereka ditekan dalam satu "kontrak"
yang diakui oleh pemerintah. Dalam kontrak itu disebutkan mereka "tak
boleh berorganisasi dan mogok" — yang dengan jalan itu mereka dapat
menagih upah dan syarat-syarat kerja yang sedikit mendingan seperti di
negeri-negeri lain. Hal itu diakui oleh pemerintah. Sungguh hal itu hanya dapat
dipertahankan oleh "saudagar budak" di zaman biadab.
Marilah
kita ingat kejahatan-kejahatan yang dilakukan di Deli. Marilah kita ingat
penganiayaan baru-baru ini yang dilakukan oleh orang-orang Eropa di Lampung dan
Sumatera Selatan, yaitu kejahatan yang dianggap sebagai dongeng saja di abad.
Bahkan lebih dari dongeng, yaitu ringannya hukuman yang dijatuhkan oleh
pemerintah atas "bajingan-bajingan" Eropa itu.
Kaum
buruh industri, perkebunan dan pengangkutan yang beratus ribu atau beberapa
juta di Jawa dan lainnya, yang diperbudak tidak dengan kontrak, yang katanya
"buruh merdeka", bernasib tak lebih baik daripada budak kontrak asli.
Satu per satu kakinya diikat dengan rantai aturan, hingga tak dapat
berorganisasi dan berjuang melawan kapitalis yang sewenang-wenang. Di dalam
Dewan Rakyat, Majelis Tinggi dan Rendah, dan surat-surat kabar yang
berlain-lainan tujuan itu, telah berulang-ulang diperbincangkan hak organisasi
dan hak mogok dari kaum buruh Indonesia! Tak perlu kita ulang lagi di sini,
atau kita uraikan hukum-hukum paksa itu. Sekali lagi dikatakan undang-undang
itu bukanlah menurut perasaan modern, tetapi aturan paksa yang dihadapkan oleh
segerombolan kaum birokrat kepada buruh Indonesia, buat pengikat segala daya
upaya mereka menuju perbaikan nasib.
Semua
undang-undang yang dijalankan itu menyebabkan kita teringat kepada zaman biadab
dan perbudakan yang gelap. Begitu banyak undang-undang paksa terhadap politik
gerakan sehingga tak dapat kita terus-terang mengatakan atau menulis sesuatu
mengenai si penjajah atau yang dapat membukakan mata rakyat yang terbelenggu
ini.
Rakyat
Indonesia mesti menutup mulutnya jika terjadi penganiayaan atas diri pemimpin-pemimpin
yang mereka percayai dan kasihi, juga apabila dengan sengaja para pemimpin
dirampas beberapa bulan kemerdekaannya atau tanpa diperiksa lebih dulu terus
dibuang sebab dianggap berbahaya atau secara khianat ditikam, dibacok, diketok
kepalanya sampai mati, atau dicabut nyawanya dengan peluru.
Bila
diceritakan kepada rakyat bahwa seorang pemimpin yang dicintai, seperti Haji
Misbach yang katanya mati "disebabkan demam hitam" pada satu
pembuangan yang ditentukan oleh pemerintah, mau tidak mau, mereka mesti percaya
saja.
Bilamana
rakyat mendengar bahwa seorang pemuda yang terpelajar dan sopan, seperti
Soegono kita, pemimpin V.S.T.G yang katanya "membunuh diri" dalam
penjara, sedangkan pada kepala dan tangannya terdapat bekas-bekas penganiayaan
dan sebuah jarinya hancur sama sekali, rakyat "tak dapat mendakwa",
juga tidak boleh mengajukan protes sama sekali.
Dan
pemerintah yang "katanya" jadi pengasuh dan pelindung rakyat kita,
tidak mengadakan pemeriksaan saksama tentang sebab-sebab kematian yang sekonyong-konyong
dari pemimpin rakyat yang cakap berjuang dengan dada terbuka dan pendek kata
dicintai dan dipercayai rakyat. Dia tidak mempedulikan atau tak punya
keberanian moral akan mengakui dan membetulkan kesalahannya dan menghukum yang
bersalah menurut undang-undang Fiat justitiaruate cellum.
(Jalankanlah
keadilan meskipun langit akan runtuh!)
Keadilan
di Indonesia hanya bagi segolongan kecil yaitu si penjajah kulit putih. Bagi
bangsa Indonesia yang berhak atas negeri itu, tak ada keadilan dan pengadilan.
VI
KEADAAN SOSIAL
Kecurangan
tukang waning Belanda yang sudah tiga ratus tahun dalam dunia imperialistis
yang disebut kolonisator menciptakan pertentangan sosial dan kebangsaan yang
satu-satunya di seluruh Asia. Di satu pihak tampak kapital yang beranak pinak
dalam pertanian yang sangat modern, dengan produksi yang sangat tinggi dan
dengan jalinan hubungan internasional yang bersatu dalam sejumlah sindikat dan trust yang memberi untung yang berlipat ganda.
Di lain pihak, tampak kaum tani, pedagang-pedagang kecil dijadikan buruh.
Mereka berjubel-jubel sebagai buruh industri di kota-kota dan buruh tani di kebun-kebun.
Semua ini melahirkan kesengsaraan, perbudakan dan kegelisahan.
Jika
pertentangan kelas yang sebenarnya menyerupai satu jurang yang tak dapat
ditimbun, yang di negeri-negeri Barat dan Jepang menimbulkan sosialisme,
anarkisme dan bolsyevisme, di Indonesia jurang itu diperdalam lagi oleh
pertentangan bangsa Belanda kontra Indonesia. Pertentangan ini, meskipun bukan
satu sebab yang terpenting, tetapi mungkin sekali dapat memancing perang-perang
kemerdekaan. "Pertentangan" Belanda kapitalist dengan buruh
Indonesia, itulah nisbah sosial kita yang berbeda dengan negeri-negeri lain.
Pertentangan ini lahir dalam bentuk yang setajam-tajamnya. Ketajaman itu bukan
saja disebabkan oleh ketiadaan kapital modern dar bangsa Indonesia, melainkan
juga oleh perbedaan agama, bangsa, bahasa, adat istiadat antara penjajah dan si
terjajah.
Di
negeri-negeri kapitalis yang maju, pertentangan sosial terbagi atas dua kelas:
kelas kaum kapitalis dengar para pengikutnya dan kelas buruh. Kaum kapitalis
ialah yang mempunyai tanah, pabrik, kereta api, kapal dan bank, dan menambah
kekayaan dalam keadaan biasa dengan jerih payah kaum buruh yang tidak dibayar,
yang dilukiskan oleh Marx "met
de zijn kapitaal geaccumuleenk meerwaarde". Kaum buruh ialah
mereka yang kepunyaan dan tanahnya dirampas oleh kapitalis. Mereka yang dulunya
adalah petani dan pedagang kecil, tetapi waktu ini segala miliknya punah sama
sekali kecuali tenaga, badan dan nyawa. Harga tenaga ini "tunduk"
kepada turun naiknya harga di pasar tenaga. Kaum kapitalis hidup dari pemerasan
dan kaum buruh dari upah kerjanya. Upah ini disebabkan oleh "undang-undang
besi" dalam "tawar-menawar" di pasar tenaga — tidak dapat menutup
harga kerja yang dilakukan (karena persaingan hebat di pasar tenaga dan
kecemasan akan mati kelaparan, terpaksa buruh itu menerima upah yang
serendah-rendahnya).
Supaya
dapat mengadakan pemerasan atas kelas buruh yang jumlahnya lebih besar, kelas
kapitalis yang jumlahnya kecil, mempergunakan "senjata gaib",
seperti sekolah, gereja atau masjid, dan surat kabar, juga perkakas kelas
seperti polisi, tentara, penjara, dan justisi. Parlemen, masjid, gereja,
sekolah dan surat-surat kabar berdaya upaya menidurkan dan melemahkan hati
buruh dengan pendidikan yang banyak mengandung racun. Bila mereka tak dapat
berlaku seperti itu, dipergunakanlah penjara, polisi dan militer.
Persaingan
ekonomi sesama kaum kapitalis menyebabkan timbulnya kongsi. Mereka dapat
melawan musuh-musuhnya yang terpencil. Kalau kongsi dalam persaingan
"mati-matian" tak dapat menaklukkan lawannya, ia mencoba mengadakan
kompromi. Kedua kongsi yang dulunya bermusuhan, sekarang menjadi satu sindikat.
Demikianlah mereka dapat menaikkan harga barangbarangnya dengan sesuka hati,
sehingga merugikan si pembëli (buruh dan tani miskin).
Jadi,
sindikat itu adalah gabungan dari beberapa kongsi. Akan tetapi kongsi bekerja
itu menurut caranya sendiri dan merdeka seperti biasa. Supaya kekuatannya
bertambah besar dan terpusat ke satu pimpinan untuk perjuangan ekonomi,
dibentuklah satu trust.
Jadi, sindikat mempunyai banyak ketua, sedangkan trust seorang saja, dan begitu juga cara
kerjanya, sebuah trust dapat secara lebih sempurna menguasai
pasar dunia daripada sindikat.
Di
pasar negeri-negeri Barat, terutama Amerika, kita lihat sejumlah tambang arang,
industri besi, pabrik-pabrik minyak dan maskapai kapal yang dulunya terpecah-pecah
sekarang bersatu dalam trust yang besar, dikepalai oleh raja-raja trust. Kita dengar
nama-nama seperti Morgan Raja Bank, Rockefeiler Raja Minyak, Carnagie Raja
Baja dan Ford Raja Mobil.
Di
Jerman kita lihat bagaimana trust yang banyak itu diikat menjadi satu
"gabungan trust".
Pabrik-pabrik besi, arang dan kertas, maskapai kapal dan kereta api semuanya
tunduk di bawah pimpinan Stinnes yang baru meninggal dunia. Demikianlah,
Stinnes dapat menguasai harga bahan-bahan mentah dan barang-barang pabrik, selanjutnya
ongkos pengangkutan dan advertensi dari barang-barang pabrik itu. Pembentukan
trust seperti ini ditiru pula oleh bank-bank yang menyatukan diri dari maskapai
menjadi sindikat, dari sindikat ke trust dan dari trust ke gabungan trust.
Bank
meminjamkan uang kepada industri dan perkebunan; bank itu senantiasa bertambah
kaya oleh bunga uang yang tinggi, yang dibayar oleh si peminjam. Akan tetapi,
bunga uang yang tinggi itu ditarik si peminjam dari buruh mereka, dan si buruh
menarik hanya dari keringat dan tenaganya. Kepada negara, bank juga meminjamkan
uang yang mesti dibayar dengan bunga yang tidak rendah. Bank negara pada
gilirannya menarik pajak yang banyak sekali dari kaum buruh (sebab merekalah
yang terbanyak jumlahnya) untuk membayar utang itu beserta bunganya. Ke
negeri-negeri asing, bank memimjamkan uangnya dengan bunga yang serupa. Bank,
"benteng kapitalisme", jadi penguasa industri, pertanian dan
pemerintahan suatu negeri, dan dengan penanaman modal di negeri asing itu, ia
juga menguasai negeri-negeri itu.
Supaya
tetap memperoleh bunga, maka ia jugalah yang mengangkat dan memberhentikan
kepala-kepala industri, ahli negara dan ahli politik, dan langsung atau tidak
menggaji atau menyuap mereka. Dengan adanya trust maka ditaruhnya pimpinan
perusahaan bank ke tangan beberapa bankir. Jadi, bangkirlah pada hakikatnya
yang jadi pemimpin industri, pengangkutan, pertanian perdagangan, negara dan
politik, pendeknya masyarakat kapitalis modern.
Dengan
memperhatikan hal tersebut di atas, tampaklah kepada kita bahwa makin maju
kapitalisme, makin sedikit orang yang berharta dan jumlah kaum buruh miskin
menjadi lebih besar. Di negeri-negeri kapitalistis yang cerdas seperti Inggris,
Jerman dan Amerika, jumlah buruh yang pandai dan yang tidak kurang lebih 75%
dari penduduk. Jumlahnya pemangku tangan, tetapi berkapital dan produksi makin
lama makin sedikit. Kekuasaan dan kekayaan mereka semakin besar. Jumlah buruh,
tapi tak mempunyai apa-apa, makin lama makin banyak, dan organisasi mereka
demikian pula. Pertentangan kaum pemangku tangan dengan buruh miskin makin lama
semakin tajam dan akhirnya menimbulkan revolusi sosial.
Di
Indonesia proses kapitalisasi itu hampir tidak berbeda dengan garis-garis besar
yang diuraikan di atas. Saudagar-saudagar Indonesia dan perusahaan yang
kecil-kecil sudah lama lenyap dari masyarakat.
Beberapa
juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan "pagi makan, petang tidak".
Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari.
Kekuasaan atas tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan badan perdagangan,
kini semuanya dipesatkan dalam tangan beberapa sindikat seperti Avros,
Suikersyndikaat, Handeslvereeniging Amsterdam dan lain-lain. Pimpinan
sindikat-sindikat besar itu tergantung di tangan beberapa orang kapitalis.
Pertentangan
sosial antara kapitalis dan buruh di Indonesia — berhubungan dengan satu dan
lain hal — lebih tajam daripada apa yang kelihatan oleh mata. Keuntungan
besar dari gula, minyak, karet, kopi, teh dan lain-lain sebagian besar mengalir
ke Eropa, ke kantong bangsa Belanda, dan sebagian kecil ada juga kembali ke
Indonesia, tetapi bukan sebagai kenaikan gaji buruh, melainkan sebagai
penambah "kapital" yang sudah ada, buat jadi "alat
penghisap" yang baru pula. Sebagian besar keuntungan itu ada di negeri
Belanda sebagai gaji uang verlof atau pensiun pegawai-pegawai Belanda.
Kemalangan
nasib buruh Indonesia hanya dapat diperbaiki dengan jalan menaikkan gaji
mereka yang sepadan (dengan memperhatikan) harga barang keperluan sehari-hari.
Dengan pembukaan beberapa kebun besar, memang ada kaum buruh atau penganggur
yang mendapat pekerjaan, tetapi sebaliknya tanah mereka disewakan dan dijual
hingga banyak petani yang kehilangan miliknya. Tambahan lagi, karena perluasan
kapitalisasi itu, barang keperluan sehari-hari bertambah tinggi harganya. Sungguh
tak dapat dipungkiri bahwa kenaikan harga barang dalam sepuluh tahun belakangan
ini tidak sejalan dengan kenaikan gaji buruh.
Demikianlah
rakyat Indonesia tambah lama tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti
biasa (malahan kerapkali diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin
mahal. Dan oleh persaingan yang makin lama makin hebat, karena cacah jiwa cepat
sekali bertambahnya dan kuat, berkuranglah kepastian akan mendapat pekerjaan.
Jika
kaum kapitalis itu bangsa Indonesia, tentulah kemiskinan dan kemelaratan tak
akan sepedih itu sebab sisa keuntungan yang sangat banyak itu mungkin dilemparkan
pada rakyat. Gaji buruh boleh jadi dinaikkan; pengajaran, koperasi rakyat,
industrialisasi dan kesehatan mungkin diperhatikan dan diperbaiki. Sekarang tak
semua itu terjadi, sebab untung yang berlipat ganda terus menerus diangkut
dari Indonesia keluar negeri.
Selain
dari proses pengeringan ini, pertentangan sosial dipertajam oleh perbedaan
bangsa dan apa saja yang bersangkutan dengan hal itu. Kaum kapitalis berbahasa
lain dari rakyat dan pemerintah bukan pemerintah rakyat. Kaum kapitalis dan
pemerintah memeluk agama lain, mempunyai kesusilaan dan kebiasaan lain, serta
ideologinya berbeda dengan rakyat. Dalam pergaulan sehari-hari antara
kapitalis dan buruh, antara pemerintah dan rakyat, yang tersebut tadi penting
sekali. Kapitalis Belanda tidak mengenal buruhnya, pemerintah Belanda mengenal
rakyatnya. Bukan dia tak ingin mengenal rakyat.
Meskipun
dia sekiranya mau berbuat serupa itu, tidaklah mudah bagi Belanda akan
menyelami batin penghuni khatulistiwa ini sebab mereka tidak menyiapkan
faktor-faktor yang perlu, seperti pendidikan, bahasa pergaulan sosial dan
kepercayaan rakyat. Oleh karena itulah, Belanda yang katanya "sopan"
kerapkali mengeluarkan kata-kata yang kotor terhadap bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia tidak akan menyukai pemerintah Belanda. Sebagaimana Filipina yang
tak langsung merasakan kekuasaan Gubernur Jenderal Amerika dan boleh dikatakan
tidak mendapat kesusahan dari pembesar-pembesar Amerika, masih saja terus
mereka menuntut kemerdekaannya, demikian jugalah bangsa Indonesia-selatan akan
tetap menagih kemerdekaan yang mutlak dan seluas-luasnya. Sebagaimana seorang
manusia tak suka diganggu dan dikuasai oleh orang lain, demikian pula rakyat.
Mereka lama-kelamaan tak akan membiarkan dirinya dijajah atau dikuasai oleh
bangsa lain.
Terserah
kepada kita memperhatikan, apakah pertentangan Belanda kapitalis dan Indonesia
buruh akan tetap selama-lamanya atau sementara waktu saja!
Pertentangan
ini lambat laun berkurang bila pemerintah sekarang, bukan nanti, mengadakan
perubahan besar, perbaikan ekonomi, politik dan sosial yang memperbaiki keadaan
seluruh rakyat Indonesia.
Hak
ini hanya terjadi dengan mendirikan industri baru (kapas, karet, pabrik-pabrik
mesin, perkapalan, tambang dan lain-lain), membuka pertanian besar-besar dan
memperbanyak jalan-jalan raya, mendirikan koperasi rakyat dengan bunga yang
rendah, memberi bantuan pikiran dan bahan kepada kaum tani, tanah kepada bekas-bekas
petani yang miskin, menaikan gaji buruh dan mengurangkan jam bekerja,
meringankan atau menghapuskan pajak dan membesarkan pajak perkebunan atau kebun-kebun
besar, dan industri dijadikan hak bersama, yaitu pemerintah, memberikan hak
dalam pemilihan umum yang seluas-luasnya kepada bumiputra, mendirikan
perwakilan rakyat yang "sejati" yang daripadanya dipilih satu badan
yang bertanggung jawab sepenuh-penuhnya kepada rakyat Indonesia, menghapuskan
segala badan birokrasi yang tak berfaedah, seperti Raad van Indie, de Alt gemeene Secretaris dan lain lain.
Tentu
tak akan terjadi!
Setengah
dari itu pun tak akan terjadi. Taruhlah secara tiba-tiba imperialis Belanda
melemparkan "politik warung kecilnya" dan mempergunakan politik
kolonial sesungguhnya, itu sudah terlambat! Sekali lagi terlambat! Imperialisme
Belanda tak punya cita-cita, keberanian dan alat-alat untuk mengadakan
perubahan yang berarti sedikit. Ia terlalu "daif" (lemah) untuk
melakukannya dan tidak ada pula borjuasi bumiputra modern dapat membantunya.
Adapun "kapital luar negeri" yang bertitik-titik beberapa dollar dari
wallstreet hanya seumpama beberapa butir kerikil yang dilemparkan untuk
menimbuni jurang yang sangat dalam antara imperialisme Belanda dan rakyat
Indonesia.
Perbaikan
radikal seperti di Filipina dapat dan mau Amerika jalankan, bila ia menerima
kekuasaan politik di Indonesia dari Belanda si tukang warung itu. Jika terjadi
yang seperti ini, Amerika dalam waktu yang singkat niscaya akan datang di
Indonesia dengan beberapa ribu juta rupiah. Tetapi mustahil! Sebab bertentangan
dengan kepentingan dan "kehormatan" Belanda. Sebab kapital Amerika
yang besar di Indonesia akan mendesak kapital Belanda ke sisi! Dan kalau
keuangan terikat, kapital Belanda tak berarti (dan tukang warung Belanda
terpaksa jadi boneka-boneka Paman Sam).
Tentu
saja "Meneerge" tidak mau! Tambahan lagi yang tak kurang pentingnya,
ini berarti kekuasaan ekonomi dan politik Amerika akan bertambah besar di
bagian yang strategis dan penting sekali di Pasifik. Hal itu tentulah dengan
sekuat-kuatnya akan ditentang oleh Inggris dan Jepang yang dengki, dan mungkin
akan menimbulkan perang dunia yang lama dan dahsyat.
Oleh
sebab itu, bagi Belanda cilik yang enggan musnah, lebih baik ia berbuat
sesukanya sambil menunggu keruntuhannya. Lagi pula, penjajah lain (Inggris,
Amerika dan Jepang) lebih baik membiarkan Belanda bergumul dengan jajahannya
yang mulai durhaka.
VII
KEADAAN POLITIK
1. Tinjauan ke
Belakang
"Politik"
di Indonesia belum pernah jadi "a
common good", kepunyaan umum rakyat. Paham kenegaraan tak
pernah melewati segerombolan kecil penjajah Hindu atau setengah Hindu.
Sebagaimana
dalam kebanyakan negeri feodalistis di Indonesia, pemerintahan negeri dipegang
oleh seorang raja dan komplotannya. Seorang raja sesudah berhasil menjalankan
peran "jagoan", lalu mengangkat dirinya jadi raja yang bertuan.
Anaknya yang bodohnya lebih dari seekor kerbau atau seorang tukang pelesir, di
belakang hari, menggantikan ayahnya sebagai yang dipertuan di dalam negeri. Peraturan
turun-temurun ini "lenyap" apabila seorang "jagoan" baru
datang menjatuhkan yang lama, dari mengangkat dirinya pula jadi raja.
Konstitusi
tidak ada yang menentukan penobatan atau pemaksulan seorang raja dengan
menteri-menterinya, serta menetapkan dengan saksama. Semua kekuasaan dan
cakupan pengaruhnya bersandarkan pada kekerasan dan kemauan raja, juga
kepercayaan dan perhambaan masa. Pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, rakyat
sebagai yang dikatakan Lincoln tak pernah dikenal di Indonesia.
Kadang-kadang
ada seorang rajalela yang "agak adil" di panggung politik. Akan
tetapi, hal ini adalah suatu perkecualian, kebetulan dan keluarbiasaan. Tidak
ada yang dapat dilakukan rakyat jika tiada raja yang begitu selain berontak.
Indonesia hanya mengenal pemerintahan beberapa orang dan tak pernah mengenal
hukum-hukum yang tertulis.
Keadaan
di Minangkabau sedikit berlainan. Pemerintahan oleh adat diserahkan kepada
wakil-wakil rakyat para penghulu, yakni datuk-datuk. Mereka mesti memerintah
menurut undang-undang tertentu. Kekuasaan tertinggi bernama "mufakat"
yang diperoleh dari perundangan dalam satu rapat.
Tiap-tiap
rapat mesti terbuka seluas-luasnya dan menurut kebiasaan yang pasti. Laki-laki
dan perempuan dalam rapat mempunyai hak bicara sepenuh-penuhnya yang dengan
cara bagaimanapun tak boleh dikurangi. Baik terhadap perkara daerah atau
nasional, "undang-undanglah" yang berkuasa setinggi-tingginya.
Akan
tetapi, keadaan seperti itu terdapat di Minangkabau saja, yaitu daerah kecil
terpencil di Kepulauan Indonesia. Oleh sebab itulah, orang di sana tidak
seberapa terpengaruh oleh Hindu dan Arab, pendeknya, dalam hal politik.
Meskipun
orang Belanda, andaikata ingin memperlakukan rakyat Indonesia dengan hormat
seperti terhadap sesamanya, misalnya seperti di bagian lain-lain dari Indonesia,
dalam merancang dan menjalankan undang-undang dan dalam membentuk dan
memaksulkan pemerintah, "rakyat tidak boleh campur tangan".
a. Pokok Undang-Undang
Minangkabau
"Anak
kemenakan beraja kepada penghulu,
Penghulu
beraja kepada mufakat.
Mufakat
beraja kepada alur dan patut".
Demikian
pula halnya di Kerajaan Poko-Dato, Sriwijaya, Majapahit dan Mataram.
Karena
rakyat tidak campur tangan dalam pemerintahan negeri, dapatlah Kompeni
Hindia-Timur menaklukkan atau berkompromi dengan raja-raja Indonesia, dan mendapat
kekuasaan sedikit ke sedikit, dan akhirnya seluruh Indonesia jatuh ke
tangannya.
b. Perwakilan Rakyat
atau Soviet
Selama
penjajahan Belanda, terlahir nisbah sosial yang lambat laun meminta pemecahan
atas soal susunan negara tetapi pemerintahannya belum tentu secara parlemen
atau Soviet.
Parlementarisme
di negeri-negeri Barat dilahirkan oleh kaum borjuis sewaktu kekuasaan
sewenang-wenang merajalela di sana dan kaum borjuis dengan perniagaan dan
industrinya yang semakin maju merasa digencet dalam memperbesar perusahaannya,
oleh raja-raja feodal: yang merintangi dengan pelbagai cukai dan pajak yang
tinggi-tinggi, sementara borjuasi tidak mempunyai hak politik. Dalam keadaan
begitulah lahir Magna Charta, Cromwellisme, dan Revolusi Prancis. Selanjutnya Voltaire,
pemimpin borjuasi yang hebat habis-habisan menggempur agama Katholik dan
pendeta-pendetanya, lalu ia mengajarkan paham "atheis" (memungkiri
Tuhan).
Rousseau
menentang autokrasi dengan demokrasi dan untuk menentang pemerintahan
turun-temurun, diajarkannya "kontrak sosial", yakni satu pemerintahan
yang mengadakan kontrak dengan rakyat. Menurut ajaran Rousseau, seorang raja
hanya boleh memerintah selama ia berbuat sesuai perjanjian; rakyat harus
menentangnya bila perjanjian itu dilanggar.
Karena
borjuasi Prancis merasa kurang kuat melawan kekuasaan raja, bangsawan dan
pendeta, bersatulah mereka dengan massa revolusioner, yaitu kaum buruh dan
tani. Akan tetapi, massa ini tidak boleh berkuasa. Mereka semua hanya dipakai
sebagai umpan meriam dalam revolusi borjuasi, sedang kekuasaan dipegang oleh
kaum borjuis. Dengan semboyan "Liberte, Egalite, dan Fraternite" yang
sekarang jadi demokrasi, liberalisme dan parlementarisme, mereka dapat
merobohkan pemerintah feodalistis.
Sesudah
memperoleh kekuasaan politik, "demokrasi borjuasi" menunjukkan
dirinya. Biarpun dalam negara parlementer, seperti Inggris, Prancis dan
Amerika, tiap rakyat diberi hak dalam pemilihan, tetapi kaum buruh dan si
miskin di sana (orang yang terbesar jumlahnya) senantiasa tidak dapat mempertahankan
calon-calonnya dalam pemilihan parlemen sebab mereka terkurung di dalam
pengaruh pikiran borjuis yang dikembangkan di sekolah-sekolah, gereja,
surat-surat kabar, dan terlebih lagi, karena mereka kekurangan alat-alat
propaganda (ruangan rapat, koran dan brosur yang semuanya mahal).
Borjuis
dengan profesor, jurnalis, pendeta dan kaum diplomatnya yang bergaji besar,
dapat memperoleh kemenangan waktu pemilihan parlemen.
Karena
anggota-anggota parlemen memegang jabatannya selama tiga atau empat tahun, hubungan
antara si pemilih dengan yang dipilih sangat renggang. Mereka berhadapan dengan
rakyat di waktu pemilihan saja, dan itulah yang menyebabkan wakil tadi menjadi
birokrat sejati. Oleh karena perceraian Majelis Rendah dan Majelis Tinggi
(badan yang membuat undang-undang) dengan kabinet (badan yang menjalankan
undang-undang) jatuhlah kekuasaan yang sesungguhnya ke tangan kantor-kantor
yang selalu berhubungan rapat dengan bank-bank. Begitulah akhirnya, asas
demokrasi dan aturan parlementer ditelan oleh tuan-tuan besar bank (Morgan di
Amerika, Locheur di Prancis, dulu Stinnes di jerman), itulah "demokrasi
resmi": terbentuk karena dana.
Begitulah,
demokrasi yang sebenarnya di masa ini menjadi diktator dari borjuasi
(Cromwellisme, Napoleonisme dan sekarang berupa Pascisme) yang bersembunyi di
belakang pers, sekolah, gereja dan bertopeng parlemen dalam ketenangan masa
kecerdasan kapitalisme Dan kekuasaan politik yang sebenar-benarnya, seperti
ekonomi, selamanya di tangan borjuasi.
Sovietisme
dan parlementarisme sudah saya uraikan dalam brosur "Parlemen atau
Soviet" (dicetak tahun 1911) Oleh sebab itu, di sini hanya pokok-pokoknya
yang saya uraikan.
Di
zaman pergerakan proletar dan revolusi ini, kaum buruh yang tak mau damai itu
mengemukakan segala pertentangan dan pendiriannya terhadap kekuasaan kaum.
borjuis, seperti borjuasi merobohkan kaum feodalis dalam perjuangan rohani dan
jasmani selama 100 tahun (1740-1848).
Peraturan
ekonomi komunis dipertentangkan dengan kapitalis, diktator buruh dengan
diktator borjuis, Sovietisme dengan Parlementarisme.
Sebagaimana
parlemen adalah ciptaan borjuasi, Soviet adalah ciptaan diktator buruh yang
dengan pertolongan kaum tani menguasai borjuasi. Jadi Soviet adalah alat
politik di tangan kaum buruh yang diadakan sebelum atau selama revolusi. Soviet
itu merupakan keadaan politik yang membelokkan masyarakat kapitalisme ke arah
komunisme dengan jalan nasionalisasi segala alat-alati produksi serta mengurus
sekalian produksi dan distribusi secara komunistis.
Badan-badan
ekonomi, politik dan pendidikan yang dibentuk selama pemerintahan diktator itu,
dipakai bukan saja untuk melemahkan dan menghancurkan borjuasi di gelanggang
politik, ekonomi, dan ideologi, melainkan juga untuk mencerdaskan semua tenaga
masyarakat ke arah komunisme.
Sementara
buruh mengadakan diktator terhadap borjuis, di dalam kelasnya sendiri sudah ada
demokrasi yang sesungguhnya. Ia berkekuasaan politik yang sebenarnya sebab ia
menguasai semua alat produksi dan distribusi. Tambahan lagi, ia akan mempunyai
semua alat penyebar semangat, seperti sekolah, surat kabar dengan secukupnya.
Soviet
berikhtiar menghancurkan "birokrasi" yang biasa terdapat dalam
susunan parlementer. Supaya tercapai maksud ini dijalankan tindakan-tindakan
berikut ini.
(1)
Waktu pemilihan dipersingkat.
(2)
Hubungan si pemilih dengan yang dipilih didekatkan dan si penyusun
undang-undang dengan si pelaksana disatukan dan dibentuk satu badan yang
sama-sama membuat dan menjalankan undang-undang.
(3)
Wakil-wakil itu kapan saja boleh diangkat dan diberhentikan.
(4)
Ke dalam pemerintahan sedapat mungkin dimasukkan kaum buruh.
Kaum
buruh yang berkesadaran tinggi, yang seharusnya memegang pemerintahan negeri
karena kaum borjuis akan selalu berdaya upaya menuntut kekalahannya yang dulu
dirampas oleh buruh, dan hal ini tentulah dijalankan mereka dengan
kontrarevolusi. Mereka ini disusun dalam partai komunis.
Menurut
keadaan itu, nanti kekuasaan politik diperas sampai kepada buruh-buruh
berorganisasi dan serikat sekerja dan akhirnya ke seluruh kaum buruh.
Semestinya,
tiap-tiap kelas yang revolusioner hendaknya merampas dan mempertahankan semua
kekuatan politik. Karena kalau ketentaraman politik di tiap negeri sudah kokoh,
dapatlah usaha-usaha ekonomi dijalankan dan, bersama dengan itu, hiduplah
demokrasi ang sesungguhnya.
Indonesia
belum pernah mengenal "demokrasi". Dan arena borjuasi bumiputra yang
kuat tak ada, buat sementara waktu, Indonesia tidak akan berkenalan dengan
demokrasi itu. Semua daya upaya untuk memperolehya tidak akan berhasil, dan
boleh dikatakan bahwa semua cita-cita seperti itu — diktator — demokrasi
borjuis - adalah tidak mungkin. Hanya kelas buruh Indonesia aja yang dapat
memegang diktator (bila ia tetap insaf dan bekerja). Ia menguasai kehidupan
ekonomi.
Dan
di waktu sekarang, buruh merupakan salah satu kelas yang mempunyai organisasi
yang terkuat di Indonesia. Kita tak usah menyesal bila kita langkahi zaman
“demokrasi tipuan” itu!
Kekokohan
politik Republik Indonesia dapat dipertahankan oleh diktator buruh yang
kekuasaan semangatnya terkandung dalam satu partai revolusioner yang
"kuat". Lama-kelamaan kekuasaan politik dapat diperluas kepada
tiap-tiap buruh Indonesia.
2. Dewan
"Rakyat" Kita!
Perbuatan
birokrasi yang buruk dan kemunafikan besar! Sungguh hanya pada bangsa Filistin
dahulukah kita dapati kekerasan dan kecurangan seperti sekarang ini?
Di
manakah rakyat yang berdiri di belakang Dewan Rakyat itu? Dan apakah yang sudah
diperbuat Dewan Rakyat yang mahal itu untuk rakyat? Di antara 48 orang anggota,
20 orang adalah bangsa Indonesia dan 28 orang asing yang mewakili kapital
asing. Dengan keadaan demikian sia-sialah semua ikhtiar anggota akan mendapat
kemenangan suara.
Andaipun
dewan itu adalah dewan yang sesungguhnya, sebenarnyalah dewan itu tak dapat
berbuat sesuatupun sebab semua nasihatnya boleh dibuang ke dalam keranjang
sampah oleh orang yang berkuasa (Dewan Rakyat bukanlah badan pembuat
undang-undang, melainkan badan penasihat).
Jumlah
anggota bangsa Indonesia terlalu kecil dan, oleh sebab itu, mereka tak dapat
menyatakan kehendak rakyat. Jika kita ingat negara Belanda yang jumlah
penduduknya 7,000,000 mempunyai 100 orang anggota Tweede
Kamer (anggota Eeste
Kamer tidak masuk),
niscaya Indonesia yang jumlah penduduknya 55,000,000 sepatutnya secara parlemen
mempunyai sekurang-kurangnya 600 orang anggota.
Di
antara 20 orang anggota Indonesia yang ada di dalam dewan itu tak seorangpun
yang betul-betul wakil rakyat atau dipilih rakyat, apalagi untuk rakyat.
Delapan orang diangkat oleh Gubernur Jenderal dan kebanyakan dari mereka ini
pemburu pangkat, seperti wakil Sumatera, Demang Loetan, dan dari Jawa,
Dawidjosewojo. Atau mereka itu seperti anak bengal politik seperti contoh yang
sebaik-baiknya, ditunjukkan oleh yang dipertuan Tuan Soetadi. Anggota
lain-lainnya dipilih oleh rapat-rapat gementee (PEB), bukti ini cukup terang!
Tak ada faedahnya dalam buku ini kita tuliskan semua kebusukan birokrasi
Belanda. Pun tak ada faedahnya bagi kita, kaum revolusioner, mengeritik dengan
sungguh-sungguh semua usul-usul yang diperbincangkan atau yang telah diterima
oleh dewan itu. Jika kita tak mau diperdaya oleh nama-nama yang bagus dan janji
yang manis-manis dari pemerintah ini, dapatlah kita menyimpulkan semua politik
kolonial Belanda sebagai berikut.
1.
Bangsa Indonesia yang 55,000,000 itu tak mempunyai hak bersuara tentang
politik.
2.
Kapitalis besar memerintah dengan perantaraan kaum birokrat yang tak punya hati
dan militeris yang picik.
3.
Dewan Rakyat itu "seekor lintah" yang melekat di punggung rakyat
Indonesia.
3. Harapan kepada
Badan Perwakilan Rakyat.
Adakah
harapan bagi Indonesia kelak akan memperoleh semacam Badan Perwakilan Rakyat?
Jawab yang pasti: "tidak". Mendirikan Badan Perwakilan Rakyat selama
pertentangan sosial dan kebangsaan seperti sekarang, berarti matinya
imperialisme Belanda atau" hancur" mesin politiknya.
Hal
ini harus diketahui oleh tiap-tiap bangsa Indonesia!
Ini
bukan soal "matang" atau "mentahnya" bangsa Indonesia
melainkan, seperti yang sudah berulang-ulang kita uraikan di bagian lain dalam
buku ini, disebabkan oleh ketiadaan borjuasi bumiputra modern, yang kepentingan
ekonominya sedikit banyak sama dengan borjuasi imperialistis-kapitalistis.
Kalau
di masa sekarang wakil-wakil dari seluruh atau sebagian rakyat Indonesia
dipilih oleh orang Indonesia dengan pemilihan yang sebebas-bebasnya niscaya
dengan segera akan menghadapi masalah kelas. Jika mereka tak suka menipu si
pemilih, wakil-wakil mereka seharusnya mengangkut masalah perbaikan ekonomi,
sosial dan politik untuk melawan kapital besar. Hal ini bukanlah perbaikan
kecil-kecilan yang dijalankan perlahan-lahan oleh kaum birokrat, melainkan
perubahan radikal yang dikerjakan dengan cepat dan praktis di bawah pimpinan
dan pengawasan wakil-wakil rakyat.
Sebagai
misal pencuri-pencuri seperti pada Perusahaan Beras di Selat Jaran dan perusahaan
pemerintah yang lain semestinya tidak dihukum dengan pemecatan yang "tidak
terhormat" seperti yang biasanya dilakukan pada pencuri kecil-kecil.
Tuan-tuan yang berbuat begitu yang digaji oleh rakyat tapi merusakkan
perusahaan rakyat, semuanya harus digantung "dengan hormat".
Jika
kelak wakil-wakil rakyat dapat mengadakan islah yang nyata, rakyat akan merasa,
bahwa material dan moral mereka sungguh bertambah maju, dan soal
"bendera" (terjajah atau terlepas dari Belanda) akan dilupakan
sementara waktu. Bukan karena soal itu tidak penting melainkan karena kesukaran
yang besar-besar dapat disingkirkan dan cita-cita politik sebagian besarnya
dapat diwujudkan.
Kita
tidak akan memperbincangkan hal bentuk pemerintahan yang akan diadakan seperti
yang digambarkan di atas. Soal itu adalah soal angan-angan dan susunan
pemerintahan negeri yang disandarkan kepada "pertimbangan teoretis"
belaka.
Pati
soal itu, apakah imperialisme Belanda akan sanggup kelak mengadakan islah-islah
yang nyata? Jika sekali lagi kita ingat jurang pertentangan Belanda-kapitalis
dengan buruh Indonesia, ketiadaan borjuasi bumiputra, kelemahan dalam hal
keuangan dan kepicikan politik imperialis Belanda, pertanyaan itu tanpa
menanggung risiko besar dapat kita jawab dengan "mustahil!"
Kesimpulannya,
segala kerewelan tentang perubahan pemerintahan negeri di Indonesia yang
sekarang sedang ramai diperbincangkan oleh orang-orang pintar dan birokrasi
Belanda itu membuang-buang waktu percuma. Jika rakyat Indonesia satu waktu
memperoleh Badan Perwakilan Rakyat, niscaya ini bukan "karunia dari
atas" melainkan disebabkan "desakan kuat" dari bawah.
VIII
REVOLUSI
DI INDONESIA
1.
Kemungkinan Besar Akan Timbulnya Revolusi
Masalah
politik, ekonomi dan sosial yang mungkin menimbulkan revolusi di Indonesia
rasanya tak perlu kita kupas lagi, karena sudah beberapa kali kita terangkan di
atas. Cukuplah dikemukakan kesimpulan yang di bawah ini.
1.
Kekayaan dan kekuasaan sudah tertumpuk ke dalam genggaman beberapa orang
kapitalis.
2.
Rakyat Indonesia semuanya makin lama semakin miskin, melarat, tertindas dan
terkungkung.
3.
Pertentangan kelas dan kebangsaan makin lama semakin tajam.
4.
Pemerintah Belanda makin lama semakin reaksioner.
5.
Bangsa Indonesia dari hari ke hari semakin bertambah kerevolusionerannya dan
tak "mengenal damai".
Karena
dugaan bahwa imperialis Belanda dengan tiba-tiba menjadi cerdas, cerdik dan
sanggup mengadakan islah-islah yang merugikan kapitalis besar dapat dipandang
sebagai khayal dalam "Cerita Seribu Satu Malam" maka proses revolusi
yang berlangsung sekarang tidak akan tertahan. Sebaliknya, perjalanan makin
lama semakin pesat dan tiap-tiap waktu pecahnya revolusi boleh diharapkan.
Apalagi
sebagian dari revolusi itu sudah terbukti. Beberapa pemberontakan yang pecah
dengan sendirinya di Jawa dan Sumatera selama 300 tahun dalam
"keberkahan" imperialisme Belanda adalah akibat perbenturan kelas dan
kebangsaan yang pada mulanya berupa pemberontakan agama. Juga kekacauan politik
semenjak 15 tahun, ini berupa berbagai hasutan dan aksi dan yang lebih jelas
berupa niatan dan perbuatan anarkis di Jawa dan pembunuhan atas pegawai-pegawai
Pamong Praja di Sumatera Barat yang melunturkan kepercayaan terhadap kekebalan
imperialisme Belanda, semuanya tergolong akibat perbenturan kelas dan
kebangsaan.
Akan
tetapi, perbenturan besar antara kelas dan kebangsaan yang dahsyat, pecah
semata-mata karena pertentangan itu sendiri dan bersifat modern, yaitu berupa
"revolusi", belum terjadi di Indonesia!
Kelak
ia pasti melanda seluruh kepulauan ini dan meletus-letus dengan sendirinya.
2.
Sifat Revolusi Indonesia yang Akan Timbul
Bagaimana
rupa revolusi itu? Apakah sifat-sifatnya yang ditunjukkan bila ia meletus besok
atau lusa? Inilah yang harus kita, sebagai revolusioner, tanyakan kepada diri
sendiri dan menjawabnya sekali, jika kita mau menjauhi politik
"terombang-ambing" seperti Douwes Dekker dan Tjokroaminoto. Menurut
jawaban atas pertanyaan itu, kita tempa alat-alat revolusi, yaitu program
organisasi dan taktik kita.
Pengupasan
yang cocok betul atas masyarakat Indonesia merupakan syarat terutama untuk
mendapat perkakas revolusi. Hal itu pulalah yang menjadi syarat pertama yang
mendatangkan kemenangan revolusi kita.
Jika
pengupasan itu tidak sempurna atau kita keliru dengan ramalan dan kesimpulan
kita, kemenangan itu tidak akan pasti atau sebentar saja. Kita tak mempunyai
horoskop yang dapat melihat peristiwa yang bakal terjadi layaknya ahli nujum
meramalkan kehidupan seseorang di kemudian hari. Akan tetapi, dengan Marx dan
Lenin sebagai penunjuk jalan dapatlah kita tentukan sedikit garis-garis besar
dari revolusi di Indonesia (melihat tingkat kecerdasan kapitalisme pada waktu
ini).
Tentulah
revolusi itu akan berbeda dengan "Pemberontakan Maroko". Hal ini
benar sekali sebab Indonesia tenaga produksinya lebih tinggi (industri, pertanian,
pengangkutan dan keuangan yang besar kuat) daripada negeri tani kecil dan
gembala domba seperti Maroko. Juga Indonesia, terutama Jawa, tidak
berpegunungan yang dapat didiami dan gurun pasir luas tempat kaum revolusioner
menyembunyikan diri bertahun-tahun untuk kemudian setiap saat dapat meneruskan
perang gerilya.
Dan
lagi, ia tak akan berupa revolusi proletar sejati seperti di Jerman, Inggris
dan Amerika (yang penduduknya sebagian besar terdiri dari kaum buruh) karena
kapital Indonesia masih terlalu muda, belum subur dan masih lemah. Oleh karena
itu, kaum buruh kita kalau dibandingkan dengan kaum buruh di negeri Barat, jauh
ketinggalan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Tambahan pula, keadaan kaum
yang bukan buruh yang juga akan turut mengadakan revolusi masih ada di dalam
zaman revolusi borjuasi dan revolusi nasional.
Revolusi
kita juga tidak akan menyamai revolusi borjuasi seperti di Prancis tahun 1789
karena borjuasi kita masih terlampau lemah dan feodalisme sebagian besar sudah
dimusnahkan oleh imperialisme Belanda. Juga ia tidak akan menyamai Revolusi
Prancis tahun 1870 karena kita agaknya mempunyai tenaga-tenaga produksi lebih
cerdas, tambahan lagi nisbah sosial sangat berlebihan.
Akan
berlainan pula ia dengan Revolusi Rusia yang feodalismenya boleh dikatakan
lemah dan borjuasinya muda yang oleh perang bertahun-tahun menjadi sangat
mundur, sedangkan kaum buruhnya muda, gembira dan dididik menurut aturan Lenin.
Kita harus berjuang melawan imperialisme Barat meskipun kecil, ia tak boleh
diabaikan sebab ia mempunyai tipu kelicinan dan suka menjadi
"pelayan" imperialisme Inggris yang besar itu.
Ia
akhirnya tidak akan menjadi revolusi politik semata-mata seperti yang biasa
akan terjadi di India, Mesir dan Filipina, yaitu borjuasi bumiputra merebut kekuasaan
politik saja (kekuasaan parlemen) karena kapitalis nasionalnya kuat dan kaum
intelektualnya sudah lebih banyak daripada di Indonesia.
Revolusi
Indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa feodalisme dan sebagian yang
terbesar menentang imperialisme Barat yang lalim. Ia juga didorong oleh
kebencian bangsa Timur terhadap bangsa Barat yang menindas dan menghina mereka.
Pati
revolusi (sekurang-kurangnya di Jawa) harus dibentuk oleh kaum buruh industri
modern, perusahaan dan pertanian (buruh mesin dan tani). Benteng-benteng
politik, terutama ekonomi imperialisme Belanda, hanya dapat dipukul oleh kaum
buruh. Di sekitar kaum bumi itu berbaris kaum borjuasi kecil yang mundur maju
tak pungguh hala (Kaum borjuis akan menurut bila mereka
tahu akan memperoleh kemenangan; itu pun di belakang sekali. Pun kalau mereka
sungguh suka turut. Lebih dari itu "tidak" dan jangan diharap).
Revolusi
Indonesia yang memperoleh kemenangan akan mendatangkan perubahan yang tepat
dalam perekonomian, politik dan sosial pada waktu kecerdasan kapitalistis
menghadapi krisis. Bila kaum buruh kita tetap giat, dapatlah mereka memegang
peran yang terpenting.
X
SEKILAS
TENTANG GERAKAN KEMERDEKAAN DI INDONESIA
1.
Kegagalan Partai Borjuis
Sesungguhnya
bukan kualitas pimpinan itu sendiri yang menyebabkan partai-partai borjuis
Indonesia "beriring-iringan patah di tengah". Para penganjur, seperti
Dr. A. Rivai dan Dr. Tjipto, niscaya akan memegang peranan yang jauh berlainan
sekali di dalam gerakan kemerdekaan Indonesia jika di sini ada kapital besar
milik bumiputra. Lambat laun, dengan sendirinya, mereka akan sampai pada
program nasional borjuis yang dengan perantaraan satu organisasi dan taktik
yang cocok, sebagian atau seluruhnya, dapat diwujudkan.
Karena
kapital besar bumiputra tidak ada, program nasional dan organisasi mereka
sebagai partai borjuis tak tahan hidup. Mereka dibesarkan oleh pendidikan
borjuis secara Barat sehingga tidak tercerabut massa Indonesia dan tidak
berperasaan akan mencari logika untuk mendapat program nasional yang proletaris.
Partai borjuis yang didirikan dengan perlahan-lahan, lenyap sama sekali,
"hidup enggan mati tak mau" atau tinggal namanya saja yang hidup.
a.
Budi Utomo
Budi
Utomo — didirikan pada tahun 1908 — adalah sebuah partai yang semalas-malasnya
di antara segenap partai-partai borjuis di Indonesia. Seperti seekor binatang
pemalas, ia merana sombong karena umurnya panjang. Karena ia tak mendapat
cara-cara aksi borjuis yang radikal dan tidak berani mendekati dan menggerakkan
rakyat maka dari dulu sampai sekarang, kaum Budi Utomo menghabiskan waktu
dengan memanggil-manggil arwah yang telah lama meninggal dunia. Borobudur yang
kolot, wayang dan gamelan yang merana, semua basil "kebudayaan
perbudakan" ditambah dan digembar-gemborkan oleh mereka siang malam. Di
dalam "lingkungan sendin" kerapkali dukun-dukun politik itu menyuruh
Hayam Wuruk — Raja Hindu atau setengah Hindu itu — dengan laskarnya yang kuat
berbaris di muka mereka. Di luar hal-hal gaib itu, paling banter hanya
dibicarakan soal-soal yang tak berbahaya. Di dalam Kongres Budi Utomo
berkali-kali (sampai menjemukan) kebudayaan dan seni Jawa (?) dibicarakan. Soal
yang penting, yaitu mengenai kehidupan rakyat di Jawa — jangan dikata lagi di
seluruh Indonesia — tak pernah disentuh, apalagi diperbincangkan mereka. Belum
pernah, barangkali, diadakan suatu aksi untuk memperbaiki nasib Pak Kromo yang
tidak hidup di zaman Keemasan Majapahit, tetapi di dunia kapitalistis yang tak
memandang bulu. Panjangnya umur Budi Utomo sebagian besar diperolehnya dari
"mantera-mantera" pemimpinnya, dari hasil "main mata"
dengan pemerintah dan dari hasil kelemahan teman seperjuangannya. Sebuah
semangat kosong seperti Budi Utomo dapat diterima oleh pemerintah seperti
Belanda.
Selain
itu, Budi Utomo tidak menumbuhkan cita-cita "kebangsaan Indonesia".
Fantasi "Jawa-Raya", yakni bayangan penjajahan Hindu atau setengah
Hindu terhadap bangsa Indonesia sejati, langsung atau tidak, menyebabkan
timbulnya keinginan akan Sumatera Raya, Pasundan Raya atau Ambon Raya dan
lain-lain.
Budi
Utomo yang mengangkat kembali senjata-senjata Hindu-Jawa yang berkarat dan
sudah lama dilupakan itu, sungguh tidak taktis dan jauh dari pendirian
nasionalis umum. Perbuatan itu menimbulkan kecurigaan golongan lain yang
mencita-citakan persaudaraan dan kerja sama antara penduduk di seluruh
Indonesia (bukan antara penjajah satu terhadap Iainnya). Dengan jalan
sedemikian, Budi Utomo menimbulkan gerakan ke daerah yang bila perlu (misalnya
Budi Utomo kuat), dengan mudah dapat dipergunakan imperialisme Belanda. Dengan
keadaan seperti ini, keinginan "luhur" yang satu dapat diadu dengan
yang lain, yang akibatnya sangat memilukan, Indonesia tetap jadi negeri budak.
b.
National Indische Party
Dengan
pikiran pincang dan ragu-ragu tidak dapat juga N.I.P. yang didirikan pada tahun
1912 "mencium" kebangsaan Indonesia. Pohon-pohonan yang
terapung-apung — indo-indo Eropa itu — berdiri dengan sebelah kakinya di sisi
jurang imperialisme dan sebelah lagi di sisi jurang kebangsaan Indonesia. Yang
terutama tidak mempunyai cita-cita nasional yaitu borjuasi Indonesia; masa
bercerai-berai. Karena itulah, satu program nasional yang konstruktif dan
konsekuen tak dapat diwujudkannya. Rumpun "Indonesisme" ala Douwes
Dekker ialah cita-cita dari Belanda Indo yang tidak kurang imperialisisnya
daripada Belanda totok, mereka merasa dikesampingkan oleh yang tersebut
belakangan dan itulah semangat yang dikembangkannya. Mereka meminta
"persamaan" dengan totok dan kadang-kadang dibisikkannya perkataan
kemerdekaan. Maksud mereka yang sesungguhnya mau membagi kekuasaan, satu orang
separo diantara mereka berdua. Karena si totok kerapkali terlalu banyak
mengambil bagian untuknya sendiri, si Indo mengancam "bekerja sama dengan
Inlander". Cap yang lebih dalam tak dapat kita tempelkan kepada kebangsaan
Belanda Indo itu. Mereka tidak berbeda coraknya dengan bangsa Hindu dan Muslim
di zaman perang saudara dulu.
Tatkala
Si Jenaka Van Limburg Stirum "pelayan liberal dari kapital besar"
memberikan pekerjaan yang menguntungkan Teeuwen dan Co waktu itu, program
N.I.P. mencapai tujuannya tanpa menumpahkan darah.
Douwes
Dekker berjalan terus; untuk mencapai itu, dia menganggap perlu memakai
kekuatan bumiputra. Dengan perkataannya yang kabur tentang hak dan kemerdekaan,
tertariklah Dr. Tjipto, Soewardi dan Co ke dalam N.I.P. Kejadian ini memberi
jiwa kepada pohon kebangsaan Indonesia yang tidak dikenal di seluruh pergerakan
Indonesia.
Satu
cita-cita modern tentang kebangsaan yang jauh lebih sehat dan lebih luas
daripada fantasi Jawa Raya (cita-cita penjajahan Hindu dan kasta-kasta) boleh
dikatakan lahir di seluruh Kepulauan Indonesia. Tetapi, sesudah Dr. Tjipto,
Soewardi dan Co duduk di dalam N.I.P., orang betul-betul memperhatikannya; di
sana dapat dilihat satu pertentangan antara anggota-anggota perkumpulan itu. Di
satu pihak berdiri Indo-Borjuis yang dididik secara imperialistis, sombong dan
penuh curiga, di pihak lain berdiri bumiputra yang ekonomi dan politiknya
tergencet, diperas dan diinjak-injak.
Sebuah asimilasi baik sosial ataupun ideologi belum pernah tercapai. Seorang anggota
N.I.P. merasa sangat senang mendapat pembagian kerja 50 banding 50 dengan si
totok yang sangat dibenci itu.
Pengangkatan
Teeuwen menjadi aggota Dewan Rakyat, kemudian menjadi pegawai tinggi,
sesungguhnya menjadi obat yang mujarab buat penyakit politik N.I.P.
Jangankan
aksi revolusioner, mogok saja jauh dari keinginan Indo anggota N.I.P. Apalagi
revolusi meminta hubungan yang rapat serta asimilasi sejati dengan bangsa
Indonesia, bukan dengan priyayi-priyayi yang bersih saja, melainkan juga dengan
Pak Kromo. Dan yang lebih utama, pembagian kekuasaan politik dengan si
Inlanders yang terbesar jumlahnya.
Dan
pemogokan yang mungkin berubah menjadi revolusi meski sekecil apa pun, tentulah
takkan pernah cekcok dengan kepentingan dan ideologi tuan tanah dan pegawai-pegawai
Belanda-Indo.
Selama
perkataan "hak dan kemerdekaan" tetap tinggal gelap, selama itulah
Belanda-Indo dapat bergandengan tangan dengan priyayi-priyayi Jawa. Tetapi,
pertentangan kelas yang beberapa tahun belakangan ini terbukti dalam pemogokan
maka keluarlah nasionalis-imperialis (nasionalis menurut sebutan dan imperialis
menurut perbuatan) dari "nasional" Indische Party.
Apa
yang diidamkan oleh Indo anggota N.I.P. sekarang dibukakan oleh I.E.V.: hak
tanah dan fasisme. Anggota N.I.P. bumiputra umumnya lebih radikal dari Belanda
Indo.
Akan
tetapi, mereka terkungkung dalam "kebangsaan Douwes Dekker" (satu
teori yang menggembirakan perihal "darah Timur dan perasaan Timur")
yang bagian ekonominya ditutup dengan wardisme yang kacau itu. Sekiranya N.I.P.
mempunyai seorang pemimpin yang sanggup mempertalikan kebangsaan Indonesia
dengan program proletaris dan sanggup menarik kaum buruh ke dalam partai itu,
niscaya N.I.P., meskipun ditinggalkan oleh Belanda-Indo yang fasistis itu,
dapatlah hidup terus dan boleh jadi lebih kuat dari yang sudah-sudah.
Tetapi
sekali lagi, sebab tak ada borjuasi bumiputra yang modern maka semangat yang
begitu sehat dan revolusioner seperti Dr. Tjipto tak mendapat tempat dalam
pergerakan revolusioner yang borjuis. Sebaliknya, daripada mendekati massa
berulang-ulang, mereka lebih suka merintang-rintang waktu dengan kerja yang tak
layak baginya, yaitu memanggil-manggil arwah kebesaran (Hindu dan Islam) yang
telah meninggal dunia.
Satu
nasionalistis "maya" yang sejati.
c.
Sarekat Islam (S.I.)
Sarekat
Islam pada tahun 1913 tampil ke muka disertai suaranya yang gemuruh.
Perhimpunan ini adalah penyambung aksi massa Timur setengah feodal yang sudah
berabad-abad mengalami penindasan. Tetapi, ia bukanlah suatu aksi massa yang
teratur, tetapi manifestasi dari perasaan massa yang kurang senang di bawah
pimpinan saudagar-saudagar kecil.
Dengan
melibat-libatkan agama, dikumpulkannya si Kromo ke dalam satu organisasi yang
sangat picik. Dan pada permulaannya ditujukan untuk menentang saudagar-saudagar
Tionghoa.
Di
dalam perjuangan ekonomi antara saudagar bumiputra dan Tionghoa tampak betul
kelemahan yang disebut duluan. Kecurangan pemimpin S.I. menyebabkan dan
menimbulkan datangnya kekalahan ekonomi. Dengan berhentinya gerakan, terhenti
pulalah kegiatan saudagar-saudagar kecil di dalam S.I. Jika kita mau menamakan
paham campur aduk antara Islam, kebangsaan reformisme dan demagogi dari
pemimpin-pemimpin S.I. itu "politik", maka sekarang kita pandang S.I.
sudah menginjak tingkatan "politik". Pada tingkatan politik ini,
berkat pengaruh kaum revolusioner di Semarang, dapatlah mereka mengadakan
aksi-aksi ekonomi pemogokan "liar".
Massa
yang kurang senang yang bersatu dalam S.I. tak dapat menjadi sendi aksi massa
yang teratur. Untuk itu, pemimpin S.I. tak mempunyai pengetahuan sedikit pun
perihal pertentangan kelas, taktik revolusioner dan kepemimpinan. Tambahan pula
program revolusioner yang konstruktif dan konsekuen, kecakapan organisatoris
dan kejujuran administrasi tak ada. Pergerakan S.I. yang permulaannya demikian
hebat dan menarik perhatian umum — hingga kerapkali disamakan dengan gerakan
Charterisme — tampaknya menang hanya karena beroleh adat menjongkok-jongkok.
Disebabkan
kebimbangan dan kelemahan aksi S.I. itu, pergilah mereka yang kecewa dan yang
lebih radikal-islamistis borjuis mengambil jalan yang salah. Segala alat-alat
feodal seperti mistik, jimat-jimat dan mantera yang sudah lama terkubur diambil
mereka dan dipergunakannya untuk menentang imperialisme, dan tentulah mereka
jadi hancur luluh.
Meski
Afd. B. dari S.I. berhasil kiranya merangkak-rangkak di bawah tanah lebih lama
dan pada waktu yang diperkirakan tepat lalu menyerbukan diri ke dalam
perjuangan, ia tidak akan mendapat hasil selain dari pemberontakan dan
huru-hara agama seperti yang sudah berulang-ulang terjadi di Indonesia.
Organisasi
S.I. mati ketika kaum revolusioner Semarang di tahun 1921 membuang disiplin
partai (trade mark Haji A. Salim). Apa yang terjadi sesudah
itu tak lain dari perpecahan anggota S.I., yang paling aktif pergi masuk S.R.
dan P.K.I. Golongan Muhammadiyah dengan segala kejujurannya menerima subsidi
dari tangan pemerintah "kafir" untuk sekolah Islam. Kedua Haji yang
termashur itu — Agus dan Tjokro — tak dapat lagi meniup gelembung sabun Islam
dengan patgulipat syariat yang lama dan yang baru dipikir-pikirkannya.
2.
Bagaimana Sekarang?
Di
dalam perjuangan yang luar biasa beratnya selama beberapa tahun yang lalu,
berhasillah P.K.I. dan S.R. menghimpun kaum buruh dan revolusioner dari B.U.,
N.I.P., dan S.I. untuk bernaung di bawah panji-panjinya. Tak ada partai lain
yang sudah memberikan korbannya seperti P.K.I. dan S.R. Beribu-ribu anggota
yang sudah tertangkap, berpuluh-puluh yang sudah dibuang, dipukul atau dibunuh.
Sungguhpun begitu, masih diakui BENDERA-nya di seluruh pulau, bukit, gunung,
kota dan desa (Indonesia). Ia dipakai menjadi lambang kemerdekaan yang sekian
lama diidam-idamkan.
Dalam
beberapa aksi daerah untuk tujuan yang kecil-kecil, P.K.I. dan S.R. sudah
menunjukkan kekuatan dan kecakapannya. Akan tetapi, untuk mengadakan satu aksi
nasional umum (apalagi di lapangan internasional), mereka betul-betul belum
kuasa. Hal ini, atas nama kemerdekaan 55 juta manusia, tak boleh didiamkan.
Kalau mereka berbuat seperti itu pula, niscaya akan berarti menjatuhkan diri ke
dalam kesalahan seperti yang terus-menerus dilakukan oleh partai-partai borjuis
(terutama partai Tjokro & Co). Tatkala muncul Larangan Berkumpul pada penghabisan tahun yang lalu, kita
tidak menunjukkan perasaan tak senang. Kini sesudah lebih delapan bulan masih
saja belum ada sesuatu yang terjadi. Manakah rakyat yang beratus ribu atau
berjuta-juta di jawa, Sumatera, Sulawesi yang langsung berdiri di bawah
pimpinan atau tunduk ke bawah pengaruh kita? Kemanakah perginya, dalam waktu
delapan bulan itu, kaum revolusioner yang setia terhimpun di dalam V.S.T.P,
S.P.P.L., S.B.G., S.B.B. dan lain-lain, serta beberapa juta yang tidak
diorganisasi tetapi yang bersimpati kepada kita? Adakah kita dengan segera
mengerahkan dan menarik rakyat untuk membalas dendam atas kelahiranLarangan Berkumpul,
masa penangkapan dan pembuangan serta kematian saudara Soegono, Misbach dan
lain-lain dengan satu aksi massa yang sepadan, tetapi dijalankan dengan
gembira.
Tidak,
kita sekali-kali tak menangkis serangan lawan sehingga timbul sekarang
pertikaian yang tak dapat dihalang-halangi dalam barisan revolusioner, dan
anggota yang berdarah anarkis mengambil jalan sendiri serta menarik
kawan-kawannya.
Selain
seksi-seksi kita yang baik, yang sangat diharapkan, seperti Sumatera Barat,
Medan, Semarang, Surabaya, (semuanya mana yang tidak?) menderita keputusan dan
kelemahan organisasi yang tak mudah ditolong lagi.
Bila
kita membalas Ultimatum
Desember dari
imperialis Belanda dengan sepak terjang komunistis yang sempurna, niscaya
kekalahan kita tidak seperti sekarang. Sebusuk-busuknya pengorbanan materiel
(penangkapan, pembuangan, pembunuhan), tak akan lebih besar dari sekarang,
tetapi kemenangan politik dan moral niscaya tinggal tetap. Dan siapakah yang
dapat mengatakan apa yang bakal kita peroleh dalam keadaan yang sebaik-baiknya?
Bagaimana
larangan berkumpul tidak kita jawab secara komunistis dan selama delapan bulan
itu kita terpaksa kerja di bawah tanah. Pada waktu itu, kita kehilangan kawan
yang sebaik-baiknya dengan percuma, selain itu, saat-saat yang sangat bahagia,
terutama psikologi yang susah kembali dan masih banyak.
Di
sini bukan tempatnya memperbincangkan hal itu lebih lanjut, pun bukan tempat
untuk memeriksa kepada siapa patutnya dipikulkan kesalahan itu: pada
seksi-seksi, pada pimpinan atau pada lain hal?
Biarlah
kita serahkan hal ini kepada "riwayat" dan kepada organisasi yang
kelak menyelidiki, mengapa kesempatan yang sebaik-baiknya itu kita biarkan saja
lenyap. Di sini pun bukan tempatnya untuk mengumumkan kekuatan laskar kita saat
ini, serta pengaruh kita terhadap massa dalam keadaan yang sulit ini; demikian
pun, maksud-rnaksud kita dan taktik kita pada yang akan datang, juga karena
kita sekarang terpaksa bekerja di bawah tanah (ilegal). Jadi, untuk kepentingan
pergerakan, sangat banyak yang mesti dirahasiakan, yang di belakang hari akan
kita ceritakan kepada kawan-kawan seperjuangan dan kepada mereka yang
menyetujui kita (Harap diperhatikan sungguh-sungguh! Maksud kita aksi massa dan
bukan putch!).
Harap
dicamkan sekali lagi bab IX. Semestinya kita dengan segera mengorganisasi dan
memimpin pemogokan dengan tuntutan yang cocok dan semboyan-semboyan yang jitu
untuk menentang dan menjawab larangan berkumpul itu.
Sekiranya
dari aksi seperti itu pecah revolusi, kita mesti terima. Berpikir dan berbuat
lain dari yang seperti itu tidaklah komunistis!
Pekerjaan
"ilegal" penuh dengan bahaya. Sambil lalu hal itu patut dan mesti
juga kita uraikan di sini. Pekerjaan legal dan hanyalah pekerjaan legal yang
melahirkan organisasi, pembicara, organisator dan pemimpin. Majalah, partai dan
pidato-pidato yang legal dapat mendidik bangsa kita yang tercecer itu melalui
cara yang berfaedah sekali untuk jadi ahli politik dan menghidupkan pikiran
umum revolusioner yang penting itu. Sebaliknya, di dalam satu negeri yang
sedang dalam transformasi seperti Indonesia, pekerjaan ilegal mudah sekali
terperosok ke dalam anarkisme, huru-hara atau kepercayaan akan jimat yang
sangat merugikan itu. Segala macam yang bersangkutan dengan organisasi dan
ideologi yang sudah lama kita peroleh akan lenyap kembali disebabkan ilegalitas
yang "tidak pada waktunya". Provokasi lawan mudah menjatuhkan
pemimpin-pemimpin kita yang kurang berpengalaman dan juga menghancurkan
organisasi sama sekali.
Organisasi
legal "harus bersedia" untuk menciptakan suatu organisasi ilegal pada
waktu revolusi. Hubungan rahasia, rapat rahasia, percetakan rahasia, dan markas
mencetak rahasia. Apabila larangan berkumpul dan berorganisasi
sekonyong-konyong dikeluarkan, organisasi itu harus bekerja terus dengan
teratur. Organisasi ilegal mesti selamanya berhubungan dengan massa dan tak
boleh sekali-kali memisahkan diri darinya. Ia mesti senantiasa mengetahui
perasaan dan keinginan massa. Karena itu, is mesti mempunyai badan-badan yang
cukup dan orang-orang yang bekerja pada badan partai "bona fido", yaitu
perkumpulan-perkumpulan yang masih diizinkan oleh pemerintah. Kalau tidak
berhubungan dengan massa dan keadaan yang sesungguhnya, sama halnya dengan
sebuah kapal. selam yang tidak mempunyai kaleidoskop.
Dengan
bekerja legal atau ilegal, kita tak boleh sekalikali melupakan senjata
revolusioner kita, yakni aksi massa yang teratur. Larangan berkumpul dan
bersidang harus kita patahkan dengan aksi massa kita yang teratur, supaya
"atas" pemandangan yang dalam dan tenaga yang besar dapat diteruskan
barisan kita menuju kemerdekaan yang sepenuhnya.
Apakah
kita memang bekerja di bawah tanah? Pertanyaan seperti itu berulang-ulang
timbul kepada kita. Ini berhubungan dengan soal pernahkah kita mempunyai tenaga
yang cukup di dalam partai, yang tidak menghiraukan segala rintangan, setia
menjalankan aksi massa yang teratur. Seterusnya, apakah pendidikan Marxistis
benar dan cukup lama dijalankan sehingga kaum buruh kita sudah mempunyai
kemantapan Marxistis, kelenturan Leninistis? Bila hal ini tidak dan belum
terjadi, niscaya satu ilegalitas yang dipaksa akan menimbulkan kakacauan dalam
seluruh gerakan revolusioner di Indonesia. Kaum yang bukan buruh akan memegang
komoditi dan menuntun partai kepada putch atau anarkisisme sehingga akhirnya
hancur sama sekali. Bahaya ini akan semakin besar karena pemimpin revolusioner
yang ulung dan berpengaruh atas massa sebentar-sebentar dibuang dari Indonesia,
sedangkan reaksi tambah lama tambah sengit.
Karena
itu, kita berhadapan dengan satu krisis revolusioner yang tak mudah dipahami
oleh orang luar.
Kini
kebutuhan bukan pada keberanian semata-mata melainkan terlebih lagi,
"pengetahuan revolusioner dan kecakapan mengambil sikap
revolusioner".
Imperialisme
Belanda berniat betul-betul menghancurkan organisasi revolusioner: Delenda est Chartago (Chartago mesti dihancurkan). Dan
jawablah sekarang atau nanti (selama-lamanya) segala daya upaya musuh untuk
menghancurkan kita; dengan jalan aksi massa yang teratur, pastilah kita menuju
kepada kemenangan!
3. De
Indonesische Studieclub
Sampai
saat ini saya belum beruntung untuk mengetahui apakah yang sebenarnya yang
diinginkan oleh Indonesische Studieclub dan alat apakah yang akan dipakainya
untuk melaksanakan maksudnya. Keterangan "majalah bulanan dari
studieclub" tidak berarti apa pun bagi saya.
Keterangan
itu terlalu gelap, terlalu elastis dan sangat kurang. Karena itu, ia tak boleh
dianggap sebagai satu "dasar" nasional buat perjuangan yang praktis. Suluh Indonesia mengumumkan sekian banyak pandangan yang
bermacam-macam. Akan tetapi, dengan perantaraan ini, kita tak juga dapat
mengambil kesimpulan apakah hal itu dilakukan dengan sengaja atau hanya
sulap-sulapan karena, kadang-kadang, studieclub dapat bercerita menurut
kebiasaan intelektual Indonesia, bahwa "di dalam kegelapan tersembunyi
penerangan".
Dari
pidato Mr. Singgih seperti yang diumumkan di dalam Suluh Indonesia dan majalah lain-lain dapat kita
"raba-raba" sedikit (tak lebih dari itu!) bahwa Mr. Singgih dan
konco-konconya mempunyai maksud yang menyerupai nonkoperasi. Jadi, belum pasti!
Kesan saya secara umum, Mr. Singgih seakan-akan lebih bersikap sebagai seorang
advokat yang menarik diri terhadap anggota-anggota pemerintah yang
mengintip-intip daripada sebagai seorang duta dari sebuah cita-cita baru yang
menyala-nyala untuk berjuta-juta budak berian. Sebuah politik yang dapat
dipahami, tetapi menurut pemandangan saya, mendatangkan kerugian yang tidak
kecil. Menurut pengalaman, rasanya dapat kita ketahui bahwa rakyat kita yang
sederhana ini tidak suka "lempar batu sembunyi tangan", tidak suka
paham-paham yang muskil dan menghabiskan waktu untuk membalas kata-kata yang
kosong. Rakyat kita menghendaki perkataan yang terang dan pas. Kalau tidak
begitu, ia akan tetap meraba-raba dan menduga-duga dan tak kan dapat diajak
mengadakan aksi.
Juga
saya tak mengenal isi Studieclub yang borjuis itu. Tetapi, sesudah dua
puluh lima tahun pergerakan kebangsaan, patutlah kita mempunyai satu ketentuan.
Bukankah kita tak boleh menganggap bahwa kaum terpelajar Studieclub akan
tinggal berabad-abad di dalam laboratorium sosial — mengupas-ngupas dan
mematut-matut saja? Karena itu, biarlah kita menganggap untuk sementara waktu
bahwa Studieclub "menghendaki" kemerdekaan nasional dan ia mau
memakai senjata nonkoperasi. Akan tetapi, dengan sebab-sebab yang sudah kita
maklumi, hal-hal itu sementara waktu dirahasiakan dulu. Jika sungguh seperti
itu, kita akan gembira dan sejauh dan sepantas mungkin akan kita sokong dengan
sepenuh tenaga sebab nonkoperasi termasuk sebagian dari aksi kita yang termasuk
ke dalam program aksi, dan kita anggap sebagai penambah pemogokan dan
demonstrasi.
Tetapi
masih jadi satu pertanyaan besar, apakah nonkoperasi saja — meskipun ia, baik
dalam politik maupun ekonomi, dapat dijalankan dengan sempurna dapat
mendatangkan hasil bagi Indonesia secara umunmya. Perihal ekonomi dan
pemboikotan, kita persilakan pembaca melihat uraian-uraian di muka. Bagian
ekonomi dan pemboikotan itu di Indonesia (terutama di Jawa) sangat meminta
perhatian dan bila kita tidak keliru, belum pernah sekali juga dibicarakan
dalam Studieclub sesungguhnya, inilah tanda kelemahan
nonkoperasi Studieclub.
Pemboikotan
tanpa disertai bagian ekonomi merupakan pekerjaan yang terlampau khayal dan
jauh dari memadai. Meskipun demikian, biarlah kita mengalah. Bahwa nonkoperasi
politik saja yang dapat membawa kemenangan politik, biarlah tetap tinggal
sebagai perumpamaan; dengan boikot ekonomi, kita dapat mencapai tujuan politik.
Kini
tinggal soal yang terpenting, bagian manakah dari penduduk Indonesia yang mesti
digerakkan oleh Studieclub yang akan memutuskan hubungan "kerja sama"
dengan imperialisme Belanda.
Di
sinilah sendinya! Kita tidak berhadapan dengan satu negeri yang pemerintahannya
sama sekali ataupun sebagian kecil dikemudikan oleh wakil-wakil rakyat, seperti
di Filipina, Mesir dan sekarang di India. Jadi, kita tak mempunyai satu
pemerintahan yang "bergerak" (boleh diturunkan dan dinaikkan dengan
jalan pemilihan"), tetapi sebuah kolonial birokrasi yang berkarat mati.
Untuk menimbulkan keributan yang berarti dalam politik, kita harus lawan dan
robohkan birokrasi itu mulai dari sendi-sendinya. Jadi, mestilah kita mendekati
pegawai-pegawai, seperti bupati, wedana, demang, jaksa dan guru-guru sekolah
supaya masing-masing meletakkan jabatannya.
Kita
secara apriori percaya bahwa hal itu tidak mungkin sama sekali, dan sementara
waktu janganlah diberi bukti aposteriori. Sungguh terang sekali bahwa bupati
itu konservatif dan pasti merangkak-rangkak di bawah kursi, menjilat pantat Belanda
serta takutnya kepada bangsa Eropa lebih dari yang semestinya. Mereka ditempel
oleh saudara-saudaranya dan biasanya banyak utang; karena itu, mereka akan
bergantung seteguh-teguhnya kepada gaji mereka. Mereka "terlampau
suka" memerintah dan merasa terlalu tinggi, tak layak menyertai pergerakan
dan bersekongkol dengan rakyat yang mau mengadakan huru-hara. Wedana dan jaksa
pun tak kurang dari itu, bahkan terlebih lagi, sangat haus pangkat yang tinggi;
sebab itu, mereka lebih "perangkak" dan "penjilat" daripada
pegawai Indonesia yang lebih tinggi.
Kita
percaya bahwa Mr. Singgih dan teman-temannya akan mengerjakan pekerjaan yang
tak terhingga beratnya untuk mematahkan birokrasi Belanda yang kokoh itu;
seterusnya, memperoleh kemerdekaan nasional atau konsesi politik yang
besar-besar.
Tinggal
lagi bagi Studieclub nonkoperasi terhadap rapat kota. Kita rasa perbuatan itu
tak cukup keliru sama sekali! Kita rasa lebih berguna bila Dr. Soetomo dan
teman-temannya tetap duduk di dalam rapat kota Surabaya, yaitu badan imperialis
satu-satunya yang boleh dimasuki bangsa Indonesia dengan pemilihan langsung
(meskipun sangat terbatas) dan dapat mengemukakan sesuatu dengan leluasa. Di
sana Dr. Soetomo dan teman-temannya dengan pengetahuannya yang luas tentang
segala tipu-muslihat pihak sana, dengan mengadakan perlawanan yang tidak
putus-putus dan kritik terhadap si pemegang kekuasaan, akan berhasil
"menyusahkan" kedudukan rapat kota.
Setelah
memperhatikan semua yang tersebut di atas, sesungguhnya kita sangat menyesali
politik dan aksi Studieclub yang dilakukannya sampai sekarang ini. Jika
Studieclub tidak "mengambil semua atau sebagian dari program buruh
kita" (kita mengatakan ini bukan karena mau merendahkan atau menyakitkan
hati kaum terpelajar Studieclub), niscaya ia akan menerima nasib sebagai B.U.
dan N.I.P. Sebab hubungan sosial antara imperialisme Barat dengan bangsa
Indonesia yakni borjuasi bumiputra yang kuat "tidak ada", maka
menciptakan satu modus
vivendi politik
adalah sebuah pekerjaan yang belum dimulai. Studieclub besok atau lusa niscaya
akan berhadapan dengan dilema sebagaimana yang sudah dialami oleh partai-partai
borjuis, yaitu:
(1)
kerja sama dengan Pemerintah Belanda, dan dengan demikian berarti mengikuti
politik imperialisme Belanda; atau
(2)
kerja sama dengan rakyat yang sebenarnya, merebut kemerdekaan yang
seluas-luasnya, dan dengan demikian, ia akan menjadi partai massa buruh serta
berpikir secara buruh. "Politik sama tengah, liberal, bagi Studieclub
berarti 'politik matt'."
(3)
Politik perlawanan seperti no.2 itu kita yang anjurkan kepada Dr, Soetomo, Mr.
Singgih dan teman-temannya bila mereka kelak diangkat atau dipilih oleh
pemerintah anggota Dewan Rakyat.
(4)
Jadi, kaum terpelajar Studieclub mestilah membuang cara berpikir berjuang,
bercita-cita untuk revolusi borjuis atau pemerintahan borjuis, tapi menjadi
buruh, yaitu memakai cara pikiran buruh dialektis-materialistis dan berjuang
buat kepentingan kaum buruh
XI
FEDERASI
REPUBLIK INDONESIA
Meskipun
atas kehendak kita sendiri, kita tidak akan membatasi aksi kita
"hanya" pada kemerdekaan bangsa Indonesia yang terhindar oleh
imperialisme Belanda. Pembatasan seperti itu akan segera menyempitkan kita di
dalam arti ekonomi, strategi dan politik.
Kekuasaan
atas Semenanjung Tanah Melayu dengan pusat armada Singapura di dalam tangan
imperialisme Inggris bagi kita sebagai satu "strategisch Umfasung" senantiasa
memaksa kita menjauhi medan perjuangan. Umfasung ini dilengkapi dengan
Australia putih yang anti kulit berwarna di sebelah selatan.
Dalam
arti ekonomi, semenanjung bagi kita adalah sangat penting sebab negeri itu
sudah menjadi pasar terbesar bagi berbagai macam hasil bumi Indonesia; tambahan
pula, banyak hubungannya dengan seluruhnya. Kedudukan kita di antara Malaya
dengan Australia, dan kapital Inggris yang sangat besar di Indonesia,
membesarkan dan mengekalkan perhatian politik imperialisme Inggris atas segala
kejadian di Indonesia. Kita tak akan dapat merampas kemerdekaan Indonesia tanpa
keributan, dan bila ribut, serdadu Inggris tentulah akan siap dengan senapannya.
Tetapnya
kedudukan Amerika di Indonesia-Utara (Filipina) bagi kita lebih berbahaya
daripada yang dapat diduga oleh seorang Indonesia biasa. Strategi kita tetap
terancam, baik dari utara maupun dari selatan oleh imperialisme modern. Ekonomi
Filipina yang mengeluarkan hasil bumi seperti Indonesia-Selatan menjadi
persaingan yang hebat. Pendeknya, selama politik Indonesia masih terpecah-pecah
jadi beberapa bagian seperti sekarang (bagian Belanda, Inggris, Amerika), tak
akan dapat diadakan persatuan aksi ekonomi, seperti menetapkan harga maksimum
hasil bumi dari negeri-negeri tropik ini di pasar-pasar dunia. Kemerdekaan
kita, bagi Paman Sam yang mungkin sekali berniat untuk selama-Iamanya duduk di
Filipina, bukanlah satu soal "filsafat" politik saja.
Indonesia
merdeka yang sekarang meringkuk di bawah imperialisme Belanda akan dihormati
oleh bangsa Indonesia-Utara dengan gembira dan akan menyebabkan timbulnya
agitasi baru untuk kemerdekaan yang seluas-luasnya bagi mereka. Filipina dalam
genggaman Jepang tidak bagus bagi kita.
Sebaliknya,
lambat laun ia berarti "penaklukan kita bersama" kepada kawanan
perampok Asiria modern. Satu pusat persatuan antara seluruh bangsa Indonesia,
yakni Indonesia kita. Semenanjung dan Filipina — tak usah dibicarakan dulu Kepulauan
Oceania dan Madagaskar yang jumlahnya tidak sedikit — adalah sine qua non,
sarat untuk merampas dan menjaga kebebasan kita. Celaka sungguh, bangsa
Indonesia di Semenanjung Malaka tak dapat mempertahankan diri dari kebanjiran
bangsa India dan Tiongkok yang terus mengalir ke sana. Perniagaan industri
boleh dikatakan semuanya ada di tangan asing. Bumiputra di kota-kota pesisir
senantiasa didesak ke pinggir kota, dan yang tinggal di darat makin hari makin
jauh menyingkir ke puncak-puncak gunung.
Pabrik-pabrik
kereta api, kantor-kantor gubernemen dan perniagaan sama sekali ada di tangan
bangsa asing. Orang perantauan dari Jawa, Sumatera, Borneo dan Sulawesi
terlampau sedikit dan terlampau lemah kekuatannya untuk mengadakan perjuangan
ekonomi melawan bangsa Benua Asia yang biasanya pandai bekerja, hidup sederhana
dan kompak. Proses pendesakan bangsa Indonesia dalam hal kediaman, ekonomi,
politik dan negeri menyebabkan lahirnya sebuah pergerakan baru di sana. Satu
perkumpulan orang-orang Indonesia yang bernama "Kesatuan-Melayu"
menguntungkan dan mesti kita perhatikan yang segala daya dari orang Indonesia
di Semenanjung untuk pertahanan dan politik. Meskipun masih suram dalam
perkataan dan ragu-ragu dalam aksi, sebuah badan politik seperti itu haruslah
dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan dan mesti kita perhatikan dengan
perhatian yang sepenuh-penuhnya. Segenap daya upaya mengembang dan menciptakan
suatu Persatuan Indonesia Raya di seluruh Kepulauan lndonesia "mesti dan
perlu" ada dan didirikan. Tambahan lagi, boleh diharapkan bahwa besok atau
lusa bangsa Indonesia-Semenanjung akan berikhtiar melahirkan satu pergerakan
yang maksudnya akan memindahkan bangsa Indonesia-Selatan ke sana. Dengan jalan
serupa itu, dapatlah dibatasinya proses pendesakan itu dan diciptakannya satu
dasar tempat Indonesia merdeka "bersandar" dan akhirnya akan mewujudkan
Kemerdekaan Semesta-Indonesia.
Filipino
yang terletak di antara Sciylla, Amerika dan Charyb di Jepang, strategis,
"sepenting-pentingnya di Pasifik" bagi 12.000.000 orang Indonesia di
sana sungguh menjadi satu soal yang memutuskan harapan untuk merebut
kemerdekaan nasional. Kedudukan Filipina terlalu penting, sedangkan jumlah
penduduknya terlalu sedikit untuk dapat mengusir musuh selama-lamanya. Karena
itu, memang sudah pada tempatnya jika mereka merasa sangat bersyukur oleh
imigrasi dari Indonesia-Selatan ke sana sebab para imigran itu dalam sedikit
waktu saja dididik bergaul niscaya akan jadi satulah dengan mereka.
Sebagai
bangsa satu keturunan, Filipina dengan Indonesia Selatan tentulah tidak akan
berselisih rupa, muka, hidung, percakapan, kesukaan dan kemauannya bekerja,
juga mempunyai perhubungan bahasa yang tak dapat disangka.[1]
Imigrasi
dari Indonesia-Selatan sekali-kali bukanlah akan berarti "penjajahan"
atas bangsa Filipina, baik dalam hal ekonomi, kebudayaan, politik atau apa pun
juga. Sebaliknya, imigrasi itu berarti menguatkan bangsa itu.
Hanya
saja imigrasi tentu tidak akan diizinkan oleh imperialisme Belanda. Pergaulan
antara bangsa Indonesia-Selatan yang berabad-abad lamanya dijajah dan diabui
matanya dengan bangsa Indonesia-Utara yang mempunyai lebih banyak kemerdekaan
dalam perekonomian politik dan kebudayaan, bukankah sebentar saja akan
membukakan mata mereka dan membangunkan semangat revolusioner? Meskipun bangsa
Filipina — berhubung dengan pertimbangan ekonominya (tingkat penghidupan yang
lebih tinggi) — menentang imigrasi kaum buruh dari Benua Timur tetapi mereka
setuju dengan imigrasi dari Indonesia-Selatan biarpun besar jumlahnya. Bangsa
Filipina sangat sulit memungkiri riwayatnya sendiri sebab mereka pun adalah
bangsa Indonesia-Selatan; Jawa, Sumatera, Semenanjung dan lain-lain juga pindah
ke sana.
Kejadian
ini bagi kita sekarang dan seterusnya sangat penting karena hal itu adalah
salah satu sendi persatuan dan kerja pertama di masa yang akan datang. Selain
itu, tidak kecil pula artinya politik Filipina yang bekerja bersama dengan
kita. Kebanyakan pemimpin politik yang besar pengaruhnya pernah berkata kepada
kita bahwa mereka sangat menanti-nantikan "All Indonesian Conference" yang
pertama. Tetapi sayang kita sekarang tidak sempat. Sesungguhnya inilah waktu
yang baik untuk meletakkan batu pertama di atas gunung "Persatuan seluruh
bangsa Indonesia".
Marilah
kita mulai, dari menit ini, dengan sungguh-sungguh dan gembira bekerja untuk
menjadikan sebagai tujuan kita yang penghabisan: pendirian "Federasi
Republik Indonesia" (FRI) di dalam arti yang sebenarnya adalah persatuan
dari 100,000,000 manusia yang tertindas dan mendiami pusat strategi dan
perhubungan seluruh Benua Asia dan samuderanya. Selain itu, ia berarti telah
memusatkan semua hasil bumi negeri-negeri panas; dan bersamaan dengan itu,
pembangunan kebudayaan baru, yakni kebangunan satu bangsa dan kekuasaan baru di
Timur. Oleh karena itu, ia akan menjadi pokok semangat baru yang tak
tertahan-tahan bagi bangsa Asia yang jumlahnya lebih dari 1,000,000,000 dan
haus akan kemerdekaan; dan ia berarti pula kerugian yang tak dapat diperbaiki
oleh penjajahan putih.
Bangsa
Indonesia-Selatan yang menghendaki kemerdekaan pasti mengerti benar tugas dan
akibat dari perbuatan serta kemenangannya. Mulai sekarang ia harus menumbuhkan
semangat juang terhadap imperialisme Barat, baik dalam politik perdagangan
ataupun militer. Jangan sekali-kali kita mundur atau meninggalkan perjalanan
yang dicita-citakan.
Singsingkanlah
lengan baju dengan segera buat menghidupkan serta menyatukan semua kekuatan
nasional; seterusnya, ciptakan satu pertalian dengan bangsa Indonesia yang
lain, yang anti-imperialis Barat atau Timur.
Akan
tetapi, jangan kita menggantungkan diri semata-mata kepada pertolongan luar
negeri. Hendaknya kita berkeyakinan kepada kekuatan sendiri dari awal sampai
akhir.
[1]
Sebelum bangsa Spanyol datang di Filipina, bahasa Melayu menjadi bahasa politik
yang resmi di seluruh Filipina, menjadi lingua franca antar pulau yang
berjumlah tak kurang dari dua ribu buah. Akan tetapi, politik devide et impera
bangsa Spanyol membunuh bahasa itu. Selain itu, karena "Utusan Tuhan"
itu mengembangkan segenap dialek yang ada di tiap-tiap pulau-pulau dan daerah
di Filipina, dan mereka juga menghapuskan bahasa Melayu, maka lenyaplah bahasa
politik yang resmi tadi. Setelah bahasa pergaulan itu mati maka lambat laun
mati pula rasa persatuan di antara penduduk sehingga akhirnya Spanyol dapat
mengadu domba mereka. Itulah sebabnya maka hingga kini sangat susah untuk membangun
persatuan nasional.
XII
KHAYALAN
SEORANG REVOLUSIONER
Sebuah
tugas yang berat tapi suci, sekarang dipikulkan di atas bahu setiap orang
Indonesia untuk memerdekakan 55 juta jiwa dari perbudakan yang beratus-ratus
tahun lamanya, dan memimpin mereka ke pintu gerbang hidup baru.
Zaman
yang lalu, zaman penjajahan Hindu dan Islam serta zaman "kesaktian"
yang gelap itu, tak dapat menolong kita sedikit pun. Marilah sekarang kita
bangun termbok baja antara zaman dulu dan zaman depan, dan jangan sekali-kali
melihat ke belakang dan mencoba-coba mempergunakan tenaga purbakala itu untuk
mendorongkan masyarakat yang berbahagia. Marilah kita pergunakan pikiran yang
"rasional" sebab pengetahuan dan cara berpikir yang begitu adalah
tingkatan tertinggi dalam peradaban manusia dan tingkatan pertama buat zaman
depan. Cara berpikir yang rasional membawa kita kepada penguasaan atas sumber
daya alam yang mendatangkan manfaat, dan pemakaian yang benar — kepada cara
pemakaian itu makin lama makin bergantung nasib manusia. Hanya cara berpikir
dan bekerja yang rasional yang dapat membawa manusia dari ketakhayulan,
kelaparan, wabah penyakit dan perbudakan, menuju kepada kebenaran. Kita sangat
menjunjung tinggi kesaktian dan adat istiadat serta kebenaran bangsa Timur.
Akan tetapi semuanya itu tidaklah mendatangkan pencerahan, kemauan kepada
peradaban dan kemajuan, cita-cita tentang masyarakat yang baik, tinggi, bagus,
serta tidak pula mendatangkan yang baik di dalam sejarah dunia. Pujilah
kepintaran Timur sang pemilik batinnya sendiri, kegaiban atau kekeramatan
Timur, bilamana anda suka. Semuanya itu sebenarnya merupakan asal mula dari
kesengsaraan dan penyiksaan mematikan semangat kerja dalam masyarakat yang tak
layak bagi pergaulan manusia. Manusia haruslah berdaya, mencoba berjuang, kalah
atau menang dalam ikhtiarnya itu. Sebab, inilah yang dinamakan hidup! Karena
itu, hapuslah segala macam kepuasan yang menyuburkan semangat budak dan
buanglah kesalahan kosong sebab ini adalah kesesatan pikiran semata.
Manusia
mesti mematahkan semua yang merintangi kemerdekaannya. Ia harus merdeka! Sebuah
bangsa pun mesti merdeka berpikir dan berikhtiar. Jadi ia mesti berdiri atau
berubah dengan pikiran dan daya upaya yang sesuai dengan kecakapan, perasaan
dan kemauannya. Tiap-tiap manusia atau bangsa harus mempergunakan tenaganya
buat memajukan kebudayaan manusia umum. Jika tidak, ia tak layak menjadi
seorang manusia atau bangsa dan pada hakikatnya tak berbeda sedikit jua dengan
seekor binatang.
Tetapi
kamu orang Indonesia yang 55,000,000 tak kan mungkin merdeka selama kamu belum
menghapuskan segala "kotoran kesaktian" itu dari kepalamu, selama
kamu masih memuja kebudayaan kuno yang penuh dengan kepasifan, membatu, dan
selama kamu bersemangat budak belia. Tenaga ekonomi dan sosial yang ada pada
waktu ini, harus kamu persatukan untuk menentang imperialisme Barat yang sedang
terpecah-pecah itu, dengan senjata semangat revolusioner-proletaris, yaitu
dialektis materialisme. Kamu tak boleh kalah oleh orang Barat dalam hal
pemikiran, penyelidikan, kejujuran, kegembiraan, kerelaan dalam segala rupa
pengorbanan. Juga kamu tidak boleh dikalahkan mereka dalam perjuangan sosial.
Akuilah dengan tulus, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat.
Tapi kamu jangan jadi peniru orang Barat, melainkan seorang murid dari Timur
yang cerdas, suka mengikuti kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi
kepintaran guru-gurunya di Barat.
Sebelum
bangsa Indonesia mengerti dan mempergunakan segala kepandaian dan pengetahuan
Barat, belumlah ia tamat dari sekolah Barat. Karena itu, janganlah menjatuhkan
diri dalam kesesatan dengan mengira bahwa kebudayaan Timur yang dulu atau
sekarang lebih tinggi dari kebudayaan Barat sekarang. Ini boleh kamu katakan,
bilamana kamu sudah melebihi pengetahuan, kecakapan dan cara berpikir orang
Barat. Sekurang-kurangnya masyarakat kamu sudah mengeluarkan orang yang lebih
dari seorang dari Newton, Marx dan Lenin, barulah kamu boleh bangga. Pada waktu
ini sungguh sia-sia dan tak layak bagi kamu mengeluarkan perkataan sudah
"lebih pintar" dan tak perlu belajar lagi, sebab banyak sekali yang
belum kamu ketahui. Pun jika perkataan itu keluar dari seorang bekas murid yang
melupakan ajaran gurunya. Kamu belum boleh membanggakan kelebihanmu karena kamu
belum layak jadi seorang murid, seperti terbukti dengan kekolotan dan akar-akar
takhayul yang masih berbelit-belit dalam kepalamu. Bila sekalian keruwetan itu
sudah lenyap dari kepalamu, barulah kamu dianggap orang sebagai murid, dan
mulailah mempergunakan pikiran "baru" dengan sempurna.
Jadi,
janganlah bimbang merampas kemerdekaan bila kamu ingin jadi seorang murid
Barat. Juga jangan dilupakan bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum
seorang manusia, bila kamu tak ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri! Bagi
bangsa Indonesia, manusia tiada harapan akan memperoleh kemajuan bila berada di
bawah tumit imperialisme Belanda. Bila seseorang ingin menaiki tangga sosial
dan kebudayaan, haruslah ia merdeka lebih dulu. Adapun paham tentang
kemerdekaan, di Baratlah dilahirkan dan dipergunakan.
Seseorang
yang ingin menjadi murid Barat atau manusia, hendaklah merdeka dengan mernakai
senjata Barat yang rasional. Apabila sudah dapat memakainya, barulah ia dapat
menciptakan sebuah pergaulan hidup yang baru dan rasional.
Kemudian
kecakapan dan kemauan menurut alam dapat tumbuh, dan dengan itu pula kekayaan
tanah Indonesia yang tak terkira itu dapat diusahakan dan dipergunakan buat
keluhuran bangsa Indonesia yang telah tertindas dan merana sekian lama di bawah
tapak kaki Belanda.
Karena
itu, wahai kaum revolusioner, siapkanlah barisanmu dengan selekas-lekasnya!
Gabungkanlah buruh dan tani yang berjuta-juta, serta penduduk kota dan kaum
terpelajar di dalam satu partai massa proletar.
Tunjukkan
kepada tiap-tiap orang Indonesia yang cinta akan kemerdekaan tentang arti kemerdekaan
Indonesia dalam hal materi dan ide. Panggil dan himpunkanlah orang-orang yang
berjuta-juta dari kota dan desa, pantai dan gunung, ke bawah panji
revolusioner. Bimbingkanlah tangan si pembanting tulang dan budak belian itu
hari ini dan besok; bawalah mereka menerjang benteng musuh yang rapi itu! Di
sanalah tempatmu pemimpin-pemimpin revolusioner! Di muka barisan laskar itulah
tempatmu berdiri dan kerahkanlah teman sejawatmu menerjang musuh; inilah
kewajiban seorang yang berhati singa! Dirikanlah di tengah-tengah laskarmu itu
satu pusat pimpinan, tempat menjatuhkan suatu perintah kepada mereka semua yang
haus serta lapar itu, dan pasti kata-katamu akan didengar dan diturut mereka
dengan bersungguh hati.
Kamu,
ahli pidato pahlawan Homerus modern, berserulah di tengah-tengah massa yang tak
sabar menanti-nantikan kedatanganmu dengan tepuk sorak dan kegembiraan.
Dan
dengan pidatomu itu, tegakkanlah mereka yang lemah, bukakan mata yang buta,
korek kuping yang tuli, bangunkan yang tidur, suruh berdiri yang duduk dan
suruh berjalan yang berdiri; itulah kewajiban seorang yang tahu akan kewajiban
seorang putera tumpah darahnya. Di situlah tempatmu berdiri dan berdiri, di
situ sampai nyawamu dicabut oleh peluru atau pedang musuh yang bengis keji dan
hina itu.
Itu kewajibanmu!
Kamu
pahlawan dari angkatan revolusioner! Tuntunlah massa si lapar, si miskin, si
hina, si melarat, si haus itu menempuh barisan musuh dan robohkanlah bentengnya
itu, cabut nyawanya, patahkan tulangnya, tanamkan tiang benderamu di atas
bentengnya itu. janganlah kamu biarkan bendera itu diturunkan atau ditukar oleh
siapapun. Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah
tempat yang selayaknya bagimu, seorang putera Tanah Indonesia tempat darahmu
tertumpah.
Biarlah
yang tersebut di atas itu senantiasa menjadi kenang-kenangan bagi kita semua.
Bersama massa, kita berderap menuntut hak dan kemerdekaan.
LAMPIRAN: RANCANGAN
UNTUK PROGRAM PROLETAR DI INDONESIA
A.
Politik
1.
Kemerdekaan Indonesia dengan segera dan mutlak.
2.
Mendirikan satu Republik Federasi dari berbagai-bagai pulau di Indoesia.
3.
Dengan segera mengadakan Rapat Nasional, yang mewakili semua golongan rakyat
dan agama-agama di seluruh Indonesia.
4.
Dengan segera memberikan hak memilih yang penuh kepada penduduk Indonesia,
laki-laki dan perempuan.
B.
Ekonomi
1.
Menjadikan milik nasional pabrik-pabrik, tambang-tambang, seperti tambang batu
arang, minyak dan emas.
2.
Menjadikan milik nasional hutan-hutan dan kebun-kebun besar modern seperti
kebun gula, karet, teh, kopi, kina, kelapa, nila dan ketela.
3.
Menjadikan milik nasional alat-alat pengangkutan dan lalu lintas.
4.
Menjadikan milik nasional bank-bank, kongsi-kongsi dan maskapai-maskapai dagang
yang besar-besar.
5.
Elektrifikasi seluruh Indonesia dan mendirikan industri-industri baru dengan
bantuan negara, misalnya pabrik tenun, mesin dan perkapalan.
6.
Mendirikan koperasi-koperasi rakyat dengan memberikan pinjaman yang murah oleh
negara.
7.
Memberikan ternak dan perkakas kepada kaum tani untuk memperbaiki pertaniannya
dan mendirikan kebun percobaan negeri.
8.
Memindahkan rakyat besar-besaran dengan ongkos negara dari Jawa ke tanah
seberang.
9.
Membagi-bagikan tanah yang kosong kepada tani yang tak bertanah dan miskin
dengan memberikan sokongan uang untuk mengusahakan tanah itu.
10.
Menghapuskan sisa-sisa feodal dan tanah-tanah partikelir dan membagikan yang
tersebut belakangan ini kepada tani-tani yang miskin.
C.
Sosial
1.
Menetapkan gaji minimum, tujuh jam bekerja dan memperbaiki syarat-syarat
bekerja dan penghidupan buruh itu.
2.
Melindungi buruh dengan mengakui hak mogok dari kaum buruh.
3.
Buruh mendapat bagian dari keuntungan industri besar-besar.
4.
Mendirikan rapat-rapat buruh pada industri besarbesar.
5.
Memisahkan negara dari Gereja ataupun Masjid dan mengakui kemerdekaan agama.
6.
Memberikan hak sosial, ekonomi dan politik kepada tiap-tiap warga negara
Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan.
7.
Menjadikan milik nasional rumah kediaman yang besar-besar, mendirikan kediaman
baru dan membagi-bagikan kediaman kepada pekerja negara.
8.
Memerangi sekuat mungkin penyakit-penyakit menular.
D.
Pengajaran
1.
Pengajaran diwajibkan dan diberikan secara Cuma-cuma kepada setiap anak-anak
warga negara Indonesia sampai berumur 17 tahun, dengan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terutama.
2.
Meruntuhkan sistem pengajaran yang sekarang, dan mengadakan sistem baru, yang
berdasarkan langsung atas kebutuhan industri yang ada atau yang bakal diadakan.
3.
Memperbaiki dan memperbanyak sekolah pertukangan, pertanian dan dagang dan
memperbaiki serta memperbanyak sekolah teknik tinggi dan sekolah untuk
pengurus tata usaha.
E.
Militer
1.
Menghapuskan tentara imperialistis dan menjalankan milisi rakyat untuk
mempertahankan Republik Indonesia.
2.
Menghapuskan aturan tinggal dalam tangsi atau kampemen dan semua aturan yang
merendahkan serdadu-serdadu bawahan, dan memperkenankannya tinggal di
kampung-kampung dan di rumah yang bakal didirikan untuknya, memberi perlakuan
yang baik dan memperbesar gajinya.
3.
Memberikan hak penuh untuk mengadakan organisasi dan rapat kepada
serdadu-serdadu bawahan.
F.
Polisi dan Justisi
1.
Memisahkan pamong praja, polisi dan justisi.
2.
Memberikan hak penuh kepada tiap-tiap orang yang didakwa untuk membela dirinya
di depan pengadilan dari serangan undang-undang dan membebaskan yang didakwa
itu dalam 24 jam, jika bukti-bukti dan saksi kurang cukup.
3.
Tiap-tiap perkara yang mempunyai dasar yang sah, harus diperiksa dalam lima hari
di pengadilan yang terbuka, tertib dan pantas.
G.
Program Aksi
1.
Menuntut tujuh jam bekerja, gaji minimum dan syarat bekerja yang lebih baik
bagi dan penghidupan kaum buruh.
2.
Mengakui Serikat Sekerja dan hak mogok.
3.
Pengorganisasian buruh untuk hak ekonomi dan politik.
4.
Menghapuskan poenale sanctie.
5.
Menghapuskan undang-undang dan peraturan yang menindas gerakan politik, seperti
hak luar biasa, larangan mogok, larangan pers, larangan rapat dan larangan
memberi pengajaran, dan juga mengakui kemerdekaan bergerak yang
sepenuh-penuhnya.
6.
Menuntut hak berdemonstrasi, dikuatkan oleh massa-demonstrasi di seluruh
Indonesia untuk pelawan penindasan ekonomi dan politik, seperti melawan
peraturan pajak, dan menuntut dengan segera pembebasan orang-orang buangan
politik; aksi massa tersebut harus dikuatkan oleh pemogokan umum dan massa yang
tak menurut perintah.
7.
Menuntut penghapusan Volksraad Raad van Indie dan Algemeene Secretaris, dan
membentuk Rapat Nasional. Majelis Nasional yang darinya akan dipilih Badan
Pekerja yang bertanggung jawab kepada Rapat Nasional